Malam yang dingin ditingkahi angin gurun yang
menderu dari arah Beit El. Di pinggir Desa Bir Zeit berbatasan dengan Beit El,
di sebuah rumah kecil yang sebagian temboknya runtuh, nampak lampu minyak yang
berkedip-kedip menerangi ruangan tempat dua orang tengah bermunajat dengan
khusyuk.
Ketegaran nampak jelas di garis-garis wajah Jiddah Khadijah, nenek berusia lewat
enam puluhan. Jari-jarinya bergetar menengadah ke langit. Aliran bening
bercucuran dari kedua matanya. Di sampingnya cucu perempuannya ikut terpekur
dalam doa yang panjang. Lintasan-lintasan peristiwa duka berkelebat silih
berganti.
Suatu pagi yang cerah di perkebunan anggur di
Bethlehem, penuh ceria para pegawai perkebunan memanen anggur-anggur yang
ranum. Namun, tiba-tiba puluhan truk serdadu Israel memasuki perkebunan dan
berteriak-teriak menyuruh mereka pergi.
"Hei, Biadab-biadab, pergi dari tanah ini!
Pemerintah Israel memutuskan tempat ini dijadikan perluasan ruang hijau... green oasis!" teriak salah seorang
serdadu.
Dengan kasar ia memukuli pegawai-pegawai perkebunan
yang terlolong kaget karena kedatangan mereka yang tiba-tiba.
"Palestinian
Desert ini akan dijadikan ruang hijau. Hei, orang-orang dungu! Kenapa tak
segera pergi dari sini?"
"Kenapa kalian tak pergi ke gurun kalau benar
ingin memperluas ruang hijau?" teriak mandor perkebunan.
"Ya, benar. Tempat ini sudah hijau, bukan gurun
lagi!" sambung seorang pegawai lain.
"Siapa yang menyuruh kalian menjawab,
heh?" Serdadu Israel murka.
Plak...plak...plak...!
Laras senjata langsung menghantam kepala.
Dor...dor...dor...!
Dengan membabi buta tentara-tentara sinting itu
menghamburkan pelurunya. Orang-orang di perkebunan segera menyingkir ke
balik-balik tembok.
Mendengar ribut-ribut itu, Sayyid Ibrahim keluar
dari ruang kerjanya. Tergopoh ia segera mendekati keributan ketika dari jauh
dilihatnya beberapa pegawainya bergelimpangan di tanah.
"Cepat pergi dari sini, setan-setan
jahanam!" teriak serdadu gila itu sambil membabati pohon-pohon anggur.
"Hei... hei, apa yang kalian lakukan di
kebunku? Mana surat izin kalian untuk melakukan perusakan ini?" Sayyid
Ibrahim berteriak sambil tergopoh menghampiri.
Seorang serdadu segera mencengkeram leher kemejanya
seraya berucap, "Kami tak perlu izin untuk mengambil apa saja milik
kalian! Tuhan sudah merelakan kami untuk melakukan apa saja terhadap kalian.
Dia menciptakan kalian untuk melayani kami. Paham, hei lelaki jelek!"
"Biadab, lepaskan suamiku!" Tiba-tiba
Khadijah berlari dari arah dapur. Saat itu ia tengah mengontrol para koki yang
sedang mempersiapkan makan siang untuk para pegawainya.
"Jadi ini suamimu?" Serdadu-serdadu itu
tertawa mengejek. "Lihat apa yang kami lakukan terhadap suamimu yang jelek
ini!"
Bak...buk...bak...buk...!
Mereka memukuli perut Sayyid Ibrahim.
"Agh...agh, hentikan...agh!" Sayyid Ibrahim
tersengal menahan sakit.
Beberapa pegawainya berusaha menolong, tapi
tendangan para tentara itu segera mendarat di perut-perut mereka.
"Hentikan, hentikan! Hasan, Shofwan, bantu tuan
kalian!"
Khadijah memanggil beberapa pegawainya. Tapi baru
saja mereka hendak bergerak menolong, peluru-peluru sudah menghampiri hingga
membuat mereka roboh berlumuran darah.
"Muhammad, Masya Allah di mana kalian? Cepat
tolong...tolong!" Tubuh tua Sayyid ringsek diinjak-injak sepatu lars
serdadu yang menggila.
"Kau lihat, nenek tua. Ini hadiah bagi yang
berani melawan!"
Dor...dor...dor...!
Rentetan peluru menghabisi nyawa Sayyid Ibrahim.
"La haula
wala quwwata illa billah!" Sayyid masih bisa memekik. Khadijah
melolong histeris sambil berusaha memukul serdadu-serdadu itu, tapi beberapa
orang pegawainya segera menahannya.
"Sudah, Sayyidah. Cepat kita pergi dari
sini!" kata mereka sambil menyeret Khadijah.
"Kami beri waktu satu jam untuk meninggalkan
tempat ini!" teriak komandan serdadu laknatullah
itu.
Tangis Khadijah pecah, "Mereka membunuh
suamiku...mereka membunuh suamiku hu...hu...hu...!"
"Sudahlah, Sayyidah. Cepat pergi dan bergegas
sebelum mereka merampas harta kita yang lain!"
Benar saja, beberapa menit kemudian mereka menjarah
apa saja barang berharga yang dapat mereka bawa. Emas, uang, barang-barang
elektronik. Sementara sebagian serdadu lain sibuk mengumpulkan para wanita
muda.
"Ambil yang cantik-cantik saja. Yang
buruk-buruk kita ceburkan ke Laut Mati! Hahaha...!"
Teriak histeris bergema dari mulut wanita-wanita perkebunan.
"Jangan sentuh kamarku untuk maksiat!"
Khadijah berteriak tersengat. Namun, rentetan peluru
menjawabnya. Beruntung ia masih bisa berkelit ke kamar lain. Lolongan para
perempuan yang tak rela kehormatannya direnggut memilukan siapa pun yang masih
punya hati nurani. Akan tetapi, orang-orang Yahudi itu malah semakin beringas
dan tertawa kegirangan.
Hanya berbekal baju di badan dan beberapa perhiasan
yang melekat di lengannya Khadijah meninggalkan semuanya, harta benda dan
perkebunan warisan orang tuanya yang telah dirawatnya dengan susah payah. Kini
karena rumahnya telah hancur, rata dengan tanah, ia terpaksa tinggal di jalan.
Menderita setelah sekian lama hidup dalam kemakmuran. Beruntung masih ada bekas
pegawainya yang memberinya tumpangan hidup.
Beberapa saat kemudian datang kabar dari anaknya
yang tinggal di Bir Zeit bersama suaminya. Mereka mengajaknya tinggal bersama.
Khadijah sangat bersyukur. Ketika ia berangkat dengan utusan anaknya yang
ditugasi mengawalnya pergi ke Bir Zeit, terlihat di hampir sepanjang perjalanan
tentara Israel tengah membangun pemukiman baru bagi warga Yahudi. Dengan
helikopter mereka membawa rumah-rumah yang siap pasang seperti halnya permainan
lego, dan dalam hitungan hari saja sudah ratusan rumah berdiri. Kenangan lama pun
terbayang dan kebencian terhadap Yahudi semakin menjadi-jadi dalam hati
Khadijah.
Seminggu setelah ia bergabung dengan
anak-menantunya, musibah menimpa lagi. Tentara Israel mengadakan penggeledahan
ke rumah-rumah penduduk untuk menyisir para teroris. Menantu lelakinya yang
ketahuan aktif di pergerakan ditembak mati di tempat, sedang anak perempuannya
diperkosa di depan cucunya, Durah, yang berusia enam tahun. Sedapat mungkin ia
menyembunyikan kepala Durah agar tak menyaksikan kebiadaban itu. Namun, lolongan
kepedihan ibunya saat dianiaya dan dibunuh Yahudi telah membuat Durah stres
hingga beberapa tahun kemudian.
Sejak saat itu, Khadijah tinggal berdua saja dengan
Durah dari satu penampungan ke penampungan lain hingga mereka terdampat di
reruntuhan rumah di tepi perkampungan Bir Zeit itu. Sekuat tenaga Khadijah
mendidik Durah agar tegar dan tumbuh jadi pribadi yang berakhlak karimah.
***
"Kholi
Jabir tadi siang mengabarkan bahwa aku sudah lolos seleksi, Jiddah!" ucap Durah pelan ketika
mereka usai bertahajud.
Jiddah Khadijah yang tengah merapikan karpet sajadahnya
kaget. "Benarkah? Subhanallah walhamdulillah!"
Serta merta ia memeluk cucunya. Debaran rasa
bahagia, takut kehilangan, dan bangga berbaur di hatinya. Kebahagiannya kini
lebih dari ketika mendengar kabar Durah diterima di Universitas Bir Zeit dengan
ranking pertama. Ini sebuah anugerah besar bagi Durah mengingat begitu sibuknya
Durah membantunya menyapu jalan-jalan di perumahan Yahudi atau menjadi buruh
pemetik buat di ladang-ladang milik Yahudi. Ternyata cucunya masih lebih
membanggakan dari itu semua. Ini sebuah anugerah besar.
"Kita memang selama ini mencari makan dengan
menjadi budak musuh sendiri," begitu yang sering Durah ucapkan ketika
keletihan sehabis bekerja.
***
Khadijah yakin cucunya pasti bisa mengemban tugas
itu. Ia ingat betapa saat itu ia berusaha meyakinkan komandan Brigade Al Aqsa
bahwa walaupun belum genap tujuh belas tahun kecerdasan dan keterampilan Durah
lebih dari rekan sebayanya. Khadijah juga berusaha meyakinkan Jabir, keponakannya
yang aktif di Hamas, untuk merekomendasikan cucunya bagi perjuangan Palestina.
"Tidak berlaku rekomendasi, wahai Khallah Khadijah. Semuanya harus
melewati seleksi yang ketat!" jelas Jabir pada bibinya waktu itu.
"Tapi sudah sejak usia sembilan tahun ia
bercita-cita syahid! Itu yang ia dengungkan setiap hari," kilah Khadijah.
"Alhamdulillah, banyak yang bercita-cita mulia
seperti itu. Dari Bethlehem saja ada dua ratus perempuan yang siap syahid,
belum lagi dari Jenin, Ramallah, dan Gaza!" ujar Jabir.
"Kalau begitu biarlah aku ikut seleksi Kholi Jabir!" tiba-tiba Durah ikut
bersuara. Rupanya ia ikut mendengar percakapan itu.
"Hanya dibutuhkan orang yang tahan banting dan
tahan stres seperti tentara, wahai Durah!"
"Akulah orangnya, Paman. Insya Allah!"
"Tapi nanti siapa yang akan merawat
nenekmu?"
"Jangan pikirkan aku!" kilah Khadijah.
"Kau tahu, ya Ibnul Akhi, aku sudah kenyang menderita. Aku bisa mengurus
diriku sendiri. Saat ini pun sebenarnya aku ingin bersama cucuku menyongsong
syahid!"
"Baiklah, nanti paman akan hubungkan kau dengan
unit seleksi kandidat syahid," ujar Jabir pada Durah.
Senyum merekah di wajah Durah si mutiara besar. Wajah yang selama bertahun-tahun selalu serius
itu nampak bahagia.
Beruntunglah Durah memiliki dasar-dasar Islam yang kuat
hasil didikan neneknya hingga ia bisa lolos seleksi awal. Ada juga orang yang
mengamati bagaimana akhlak dan penghayatannya dalam menjalankan syariat Islam
sehari-hari dan Durah sangat memuaskan dalam hal tersebut. Selain itu, ia juga
melewati seleksi penyamaran, yaitu dengan mendatangi pesta-pesta Yahudi untuk
dilihat bagaimana keluwesannya dalam bergaul hingga bisa masuk ke dalam
lingkungan Yahudi.
"Jiddah,
hari-hari ke depan aku mungkin tak bisa membantumu mengumpulkan sampah-sampah
di jalan!" ujar Durah suatu hari.
"Mengapa?"
"Divisi
Seleksi Akhir memintaku untuk ikut mendalami agama dan lebih memahami apa
arti kesyahidan lewat diskusi-diskusi!"
"Pergilah, Nak. Kau tahu Nenek selalu
mendukungmu untuk hidup mulia atau meraih kesyahidan!"
Akhirnya Durah pergi ke tempat yang telah
ditentukan. Suatu tempat rahasia yang tak diketahui tentara Yahudi dan
mata-matanya. Durah memasuki ruangan yang hanya diterangi lampu minyak dan ia
melihat semua anggota Brigade Al Aqsa nampak menyandang senapan kalashnikov.
Di ruangan yang temaram itu sudah hadir beberapa
akhwat lain. Mereka tengah menyimak video para syuhada yang telah mendahului
mereka.
"Mari kita analisa kelemahan dan kelebihan
serangan para syahid ini!" Abu Zam-Zam yang memimpin Divisi Seleksi Akhir
memandu diskusi. Ungkapan-ungkapan cerdas keluar dari para perempuan pemberani
itu.
"Abu Zam-Zam, bila melihat rekaman video-video
ini nampak keberanianlah yang paling dibutuhkan. Lalu mengapa di awal seleksi
akhlak juga menentukan kelulusan kami?" Durah bertanya.
"Wahai, Anakku. Bila kita ingin menang dalam
berjuang, keimanan harus digembleng sedangkan akhlak adalah buahnya iman. Sebaik-baik orang beriman adalah yang paling
baik akhlaknya. Inilah yang mengantarkan kita pada kesuksesan
perjuangan."
"Mengapa kita hanya berjuang sendiri, ya Abu
Zam-Zam?"
"Tidak, Durah. Jutaan muslimin dari Yordan
hingga Indonesia dan bahkan dari seluruh dunia membantu kita lewat doa, dana,
dan demo-demo di panas terik. Bahkan bayi dan balita mereka pun ikut berdemo.
Satu kilo TNT seharga seratus dolar atau sebuah kalashnikov seharga dua ribu
dolar adalah di dalamnya saham mereka untuk membantu kita."
"Mengapa kita belum juga bisa menyelamatkan
Palestina, ya Abu Zam-Zam?" seorang akhwat lain bertanya.
"Menyelang Perang Yarmurk Abu Bakar berpesan
pada Khalid bin Walid, 'Perangilah
musuhmu sepadan dengan penyerangan mereka kepadamu. Pedang dengan pedang,
tombak dengan tombak.'" Abu Zam-Zam memulai penjelasannya.
"Tokoh Yahudi Ben Gurion mengatakan, 'Tiap orang Yahudi wajib hijrah ke Israel.
Orang Yahudi yang tinggal di luar Israel dianggap menyimpang dari Taurat dan
bukan pengikut Yudaisme!'"
"Tank-tank pertama Israel ketika menguasai
Semenanjung Sinai ditempeli ayat-ayat Taurat. Ketika mereka menguasai Yerusalem
mereka berteriak, 'Hidup Taurat!' Lalu mereka menuju Dinding Ratapan dan
membangun kuil Sulaiman. Bila Israel saja menyerang kita atas nama Yahwe, Tuhan orang Yahudi, kita pun
berjuang harus atas nama Allah. Motivasi Israel adalah Yudaisme maka motivasi
kita haruslah Islam!" Abu Zam-Zam diam sejenak agar pendengarnya meresapi
kata-katanya.
"Apakah kalian melihat semangat Islam itu ada
pada sebagian orang yang mengaku pejuang Palestina?" tanyanya penuh
tekanan.
Anak-anak muda itu terdiam. Terlintas dalam benak
mereka slogan-slogan Nasionalisme, Arabisme, dan isme lain mengitari perjuangan
merebut Palestina.
"Apakah pesan Abu Bakar untuk sepadan dalam
menghadapi musuh ada pada pejuang Palestina?" tandas Abu Zam-Zam lagi.
"Kalau mereka menyerang dengan Taurat, kita harus menyerang dengan
Al-Qur'an. Kalau mereka menyerang dengan mengibarkan panji-panji Nabi Musa,
kita mengibarkan Panji Musa, Isa, dan Muhammad! Kalau mereka menyerang karena
membela Haikal Sulaiman, kita berjuang untuk membebaskan Al Aqsa!"
"Allahu Akbar...!" pekik semangat
menggelora.
"Tapi, Abu, senjata mereka super canggih!"
sela Durah lagi.
"Durah, ketika pasukan muslimin berhadapan
dengan Romawi ataupun Persia, persenjataan kita pun tak kalah kunonya. Bukankah
mereka berjuang mencari mati syahid sedang lawan mereka berperang mencari
hidup? Itulah teror yang ditakuti lawan!" Penuh tekanan Abu Zam-Zam
mengatur kata-katanya.
"Maka ingat, kalau Yahudi berteriak pada
pasukannya, 'Kalian bangsa pilihan,'
teriakkan pula pada pasukan kita, 'Kuntum
khaira ummah ukhrijat linnas'"!
"La haula
wala quwwata illa billah!" ucap para akhwat itu.
***
Khadijah mengusap air mata bahagia.
"Besok sore aku akan melakukan misi itu. Nenek
bisa menjaga rahasia, kan?"
"Kau tahu siapa aku, Cucuku!"
"Setelah kita sahur, aku akan melanjutkan
munajat dan mengkhatam Al-Qur'an," ujar Durah riang.
Pada waktu sahur. Baru saja mereka menggigit roti
gandum bekas makan semalam, pintu depan digedor dengan ribut. Tak pelak lagi,
itu gaya serdadu Israel.
"Teroris-teroris itu pasti bersembunyi di sini.
Ayo buka pintu!"
Brak...brak...brak...!
Pintu dijebol.
"Cepat selamatkan dirimu, Durah. Misi muliamu
tak boleh terhalang para laknatullah
itu!"
Tak membuang waktu, diciumnya tangan neneknya. Tanpa
sempat lagi mengucapkan kata perpisahan, ia segera melesat ke jalan-jalan
rahasia menuju ke suatu tempat yang tak seorang pun tahu.
Serdadu Israel berhasil mendobrak pintu. Nenek
Khadijah berkacak pinggang di depan mereka.
"Mau apa kalian? Tengah malam mendobrak rumah.
Tak tahu sopan santun!"
"Diam! Di mana kau sembunyikan teroris
itu?"
"Teroris apa? Aku hanya tinggal sendiri!"
jawab nenek Khadijah lantang.
Serdadu Israel itu mendorongnya hingga terjungkal.
Mereka menggeledah seluruh ruangan hingga ke loteng. Mereka mengambil uang yang
mereka temukan dan membuat rumah porak-poranda. Ketika sasaran yang mereka cari
tak ketemu, mereka pun meninggalkan tempat itu.
Nenek Khadijah terus saja berdoa untu keselamatan
cucunya. Jangan sampai cucu tercintanya
tertangkap serdadu Israel.
***
Detik demi detik berjalan lambat. Berkali-kali Nenek
Khadijah melihat ke arah jam dinding. Ia pun bolak-balik dari tempatnya bekerja
di perkebunan ke sebuah rumah tetangganya yang punya televisi.
"Jiddah
Khadijah, ada telepon untukmu!" Pemilik rumah berteriak memanggilnya.
Dengan gugup Nenek Khadijah memegang gagang telepon.
Dari seberang terdengar suara Durah lewat telepon genggam.
"Nek, aku ada di Yerusalem, dekat David's
Tower. Kami berputar-putar dari jalan Mamilla hingga ke Jaffa Gates. Aku tengah
menanti instruksi sasaran, lima belas menit lagi. Doakan aku. Selamat tinggal, Jiddah sayang!" Terdengar suara
Durah agak bergetar ketika mengucapkan kata berpisah.
Gelombang perasaan melanda hati nenek tua itu,
antara takut, harap, dan bahagia. Ia pun kemudian terpekur di depan televisi
menunggu berita.
Berkilo-kilo meter dari Bir Zeit, tak kalah hati
Durah gundah. Sepuluh kilo TNT dan lima kilo paku baja siap di rompinya. Ia tak
ingin ribuan dolar ini sia-sia.
Sejam kemudian penyiar televisi memberitakan.
Seorang remaja putri tujuh belas tahun meledakkan dirinya di pusat pertokoan
Jerusalem. Dari televisi, Nenek Khadijah melihat cabikan-cabikan daging dan
carikan pakaian yang biasa dipakai cucunya. Diberitakan tiga puluh orang Israel
tewas dan seratus orang lainnya luka-luka. Di layar kaca terlihat darah
menggenang ke jalan-jalan hingga mengotori dinding.
"Subhanallah...!
Subhanallah...! Walhamdulillah!" Ia berteriak-teriak hingga membuat para
tetangga berdatangan. "Mahasuci Allah yang telah menakdirkan cucuku
menjadi syahidah!"
Dengan cucuran air mata gembira ia kembali ke rumah
diiringi ucapan selamat para tetangganya. Ia pun mengundang para tetangganya
berpesta.
Di tengah hiruk pikuk bahagia itu, dari ujung
gang-gang desa, laras senjata serdadu Israel siap meledak.
Dan perjuangan masih berlanjut.
***
Jatiwarna,
15 Mei 2002.
Daftar
Istilah:
-
Sayyid(ah) : Tuan/Nyonya
-
Khallah : bibi
-
Kholi : paman
-
Jiddah : nenek
-
Ibnul Akhi : keponakan
-
Kuntum khairah ummah ukhrijat linnas
: kalian umat terbaik yang pernah diturunkan Allah untuk manusia.