Aku berdiri di depan kalender.
Beberapa hari lagi kami akan melewati tanggal istimewa. Tahun perkawinan kami
yang kelima.
Seingatku kami jarang
bertengkar. Kalau bukan aku duluan yang cari gara-gara, sepertinya kami tak
akan pernah bertengkar. Penyebabnya pun bisa masalah sepele yang bagiku kadang
sangat menjengkelkan. Aku bisa menerimanya dengan lapang dada kalau sedang cuek, tapi kalau keimananku lagi tipis
aku bisa uring-uringan karenanya.
Suamiku tidak romantis. Dia
kadang nggak ngeh dengan apa yang aku
mau. Padahal menurutku, dari bahasa tubuh saja seharusnya dia bisa menangkap
keinginanku. Orangnya cuek bebek,
walupun selera humornya oke juga hingga kadang kami sering melewati hari dengan
kelucuan-kelucuan yang menyegarkan. Misalnya, dia tak malu mengajakku berjoget
kalau kebetulan mendengarkan iklan Syarmila
di televisi. Gayanya dengan jempol ketemu jempol dengan mata dimerem-meremkan
kadang membuatku tertawa sampai sakit perut. Soalnya aku pada saat yang sama
kadang suka membayangkan bagaimana berwibawanya dia di tempatnya bekerja. Oh,
ya, suamiku bekerja di bagian personalia sebuah pabrik sebagai pemimpin yang
membawahi ratusan buruh. Dia juga kerap mengisi pengajian bapak-bapak di masjid
tempat kami tinggal.
“Aku bilangin bapak-bapak pengajian baru tahu rasa lho!” godaku
mencandainya.
“Alaah, kamu juga, di data dulu
katanya pendiam, tahunya cerewetnya ‘nggak
tahaaaan’!” balasnya menirukan sebuah iklan.
Ia mengungkit data waktu kami
berkenalan dulu. Kami menikah tanpa pacaran, tapi dikenalkan oleh teman. Teman
yang jadi mak comblang itu bilang
padanya kalau aku pendiam. Kenyataanya aku memang pendiam kalau sedang tidur.
Tapi kalau dia begitu, ya… terpaksa aku jadi cerewet.
Jam delapan malam saat
kepulangannya dari kantor, dia duduk di bangku kesayangannya. Aku mengambilkan
the dan makanan kecil, lalu kai saling betukar cerita tentang kejadian yang
kami alami seharian tadi. Kadang kalau ana-anak sudah tidur, kami bisa
mengobrol sampai setengah sebelas malam atau lebih malam lagi.
“Mandi dulu, Yang!” kataku entah
untuk yang keberapa kali di sela-sela obrolan kami
“Apakah harus?”
“Iya lah, kamu berdebu begitu!”
“Ck… ck, Ibu-ibu… mandi itu
harus ada sebab-sebabnya!” jawabnya nakal.
“Sebabnya udah jelas… kamu bau
bus dan berdebu begitu,” jawabku sambil menutup hidung pura-pura sangat
terganggu.
“Ee.. Ingat… kiat-kiat menjaga
kulit… Satu, mandi jika ada sebab yang mewajibkan. Dua, banyak bergerak, agar
banyak keluar keringat. Tiga, keringat tak usah dilap. Empat, jangan mandi
sebelum gatal…!”
Aku jadi tetawa mendengar
alasannya. Herannya kulitnya memang dari sononya
bening dan bersih. Wajahnya mulus tak pernah jerawatan.
Pernah jerawat menyerang wajahku
dan membuatku sebal. Aku pun tanya padanya. “Yang, ngilangin jerawat gimana,
sih? Kok kamu nggak pernah jerawatan?”
“Makanya Bu, jangan
sering-sering mandi. Kamu sih, habis masak mandi, habis jalan-jalan pagi mandi,
kepipisan adik mandi…. Kebanyakan mandi nanti kamu mentik kayak tumbuhan!” jawabnya konyol. Aku terkikik karena dalam
pikiranku terbayang biji kacang hijau yang tiap hari disiram hingga mentik jadi toge. Ah, si Sayang memang selalu ada-ada aja! Tapi aku segera tersadar
dari lamunanku dan teriak.
“Udah… udah…! Mandi dulu,
pokoknya aku nggak mau nyiapin nasi
kalau Mas belum mandi,” kataku mengingat kebiasaannya tak mau makan kalau bukan
aku yang nyendokin ke piring dan
menyiapkan semuanya. Manja!
“Gimana aku mau mandi kalau ada
bidadari cantik yang menahan langkahku?”
“Ngegombalnya nanti aja!” Aku mendelik, dan dia nyengir bandel lalu
segera mengambil handuk dan baju santainya yang dari tadi sudah aku siapkan.
Ketika ia mandi aku menyiapkan
makanannya. Beberapa saat kemudian dia keluar dan melemparkan handuk basah ke
atas tempat tidur.
“Mas…!” ujarku sambil melirik
handuknya.
“Sorry… sorry, Neeeng.
Lupa…” ujarnya sambil cengar-cengir, “Cerewet” bisiknya sambil menggantung
handuk di tempatnya dan membuatku mendelik. Ia cuma tertawa.
Begitulah, tak ada yang jelek
pada tingkahnya. Dia selalu nyantai
saja kalau diprotes ketidakdisiplinnya menaruh handuk, buku, sepatu, sabun
mandi, dan lain-lain. Aku juga tak mempedulikannya benar kalau sedang menggebu
sayang dan kangenku padanya. Tapi kalau kebetulan sedang bad mood, hal kecil itu bisa juga membuat kami diam-diaman.
Seperti pagi itu, kami berangkat
kantor bareng. Senang rasanya bisa
bergandengan sepanjang jalan menuju terminal sebelum berganti kendaraan ke
kantor masing-masing, apalagi kami jarang bisa bersama. Pulang kerja paling
cepat pukul delapan malam ia sampai rumah. Kalau ada kegiatan ekstra seperti
Rohis kantor, karang taruna di lingkungan kami, tugas keluar kota, atau mengisi
pengajian, kami jarang bisa bersama dalam waktu yang agak lama. Karena itu,
kami senang bisa berangkat bareng ke
kantor.
Tapi begitulah, hari itu rasanya
menjengkelkan sekali. Sedang enak-enaknya jalan bergandengan di tepi trotoar
menunggu bus lewat, tiba-tiba busnya datang duluan.
“Bu… Bu, tuh busku datang, yok…”
Terburu-buru ia mengejar Patas AC yang memang langka dan selalu penuh itu. Hup,
dia melompat ke dalam bus dan meninggalkanku sendirian di jalan. Sebal! Nggak ada basa-basinya. Salam dulu kek,
beri aku kesempatan mencium tangannya kek, atau bilang ‘Aku duluan, ya Yang, hati-hati di jalan,’ gitu… Kayak di
film-film. Ini, mah… boro-boro. Sebal,
rutukku kesal.
Rasa kesalku akhirnya merambat
ke hal-hal lain. Seingatku ia pernah mengantar aku belanja ke swalayan seperti
yang dilakukan para suami teman-temanku. Tapi coba dia bilang apa, ketika aku
minta diantar? “Kamu kan punya kaki, jalanlah sendiri. Tugasku lagi banyak! Tak
usah manja. Ingat muslimah harus tegar, siap berjihad fi syara wa dhara!”
Auk ah gelap! Cibirku dalam hati. Aku memang bisa jalan sendiri,
tapi kan sekali-kali bolehlah manja. Dia itu kalau aku lagi ingin kolokan kadang masa bodo teuing.
“Mas, kepalaku pusing nih!”
kataku dengan memelas, menyilakannya untuk memijit kepalaku atau apalah biar
aku bisa sedikit manja padanya.
Dia cuma jawab, “Oh, pusing.
Minum obat sana!” katanya tetap menekuri buku yang dibacanya.
Huh, bete! Aku pun jadi cemberut semalaman tapi dia tetap tak
sadar. Setelah matanya sepet karena membaca, ia menguap lebar lalu mencium
keningku yang sedang cemberut di sampingnya lalu mendengkur tidur. Hih… gak liat apa aku udah pasang muka
ditekuk begitu? Kan capek, hargain sedikit, dong! Sebballl!
Pernah suatu saat dia bertugas
keluar kota. Aku mengantarnya sampai stasiun kereta berharap bisa bercakap
melepas kangen sebelum berpisah. Namun, di stasiun dia bertemu dengan kawannya
waktu kuliah dulu. Ngobrol lama
sekali. Aku tak ikut mengobrol karena tak tahu topik pembicaraan anak teknik
industri, dan ia laki-laki, lagipula suamiku lupa mengenalkan temannya itu
padaku. Aku cuma bisa berdiri menunggu jadi kambing congek. Setelah sekitar
empat puluh menit, percakapan itu baru selesai. Itupun karena kereta Argobromo
datang dan ia tergesa-gesa mengangkat barang-barangnya.
“Bu… aku berangkat, ya,
hati-hati di rumah!”
Aku cuma menatap kepergiannya
dengan doa. Semoga selamat pulang dan pergi. Tapi dasar suamiku cuek. Tiga hari di luar kota, tak memberi
kabar apapun. Telepon kek, kalau sudah sampai atau kasih tahu kami dimana dia
menginap. Apa dia sehat-sehat saja? Pikiranku jadi macam-macam. Jangan-jangan
dia tidak sampai? Jangan-jangan ada penjahat yang menodongnya lalu ia terluka,
berdarah-darah dan masuk rumah sakit? Atau dia mengalami kecelakaan, ketabrak
truk waktu hendak menyeberang, terkapar sendirian, tewas mengenaskan, tak ada saudara
yang tahu, dan aku… aku jadi janda…. Lalu bagaimana dengan dua anakku yang
masih kecil-kecil itu. Akhirnya aku menangis di depan anak-anakku yang tengah
terlelap tidur. ‘Kalian akan jadi yatim,
Nak!’ bisikku pilu.
Aku pun merancang-rancang
rencana kalau suamiku benar-benar mati. Mungkin aku akan jualan gado-gado, atau
menitipkan kue-kue ke toko-toko untuk menunjang gaji kantorku yang tidak begitu
besar. Tiba-tiba pikiranku melompat. Atau jangan-jangan dia sudah punya istri
baru disana, jadi lupa meneleponku. Hatiku jadi cemburu tak karuan. Teganya si
Mas. Mas, awas saja kalau sampai begitu, aku nggak relaaa…!!!
Selama itu aku jadi salah
tingkah, cemas, sehingga tidak punya nafsu makan dan tak bisa tidur karena
memikirkannya. Aku berusaha banyak shalat dan membaca Al Qur’an, tapi pikiranku
tak khusyuk, mengembara kemana-mana.
Tiga hari kemudian dia datang
dengan tas besarnya yang berisi pakaian kotor dan beberapa tas oleh-oleh.
“Assalamu’alaikum!”
Ia merangkul anak-anaknya dengan
sepenuh kangen. Diam-diam aku memandanginya menyelidiki kalau-kalau memang dia
punya affair, tapi tingkahnya tak mencurigakan
kecuali kalau dia aktor yang bisa berakting luar biasa. Ketika ia mengungkapkan
kekangenannya padaku, kedengarannya sangat tulus, tak dibuat-buat. Hilang sudah
prasangkaku, walaupun setelah ia istirahat aku tumpahkan juga unek-unekku atas
kelalaiannya menelepon.
“Ya, ampun… Bu…Bu, makanya
jangan kebanyakan nonton sinetron! Jadi emosional begitu!”
Dia malah tertawa mendengar
kekhawatiranku yang berlebuhan. “Kalau aku meninggal, kawin aja lagi, repot
amat… kamu masih muda dan cantik!” katanya di sela tawa.
Aku malah tambah sewot.
Aku malah tambah sewot.
“Memangnya kamu pikir aku mudah gonta-ganti pasangan? Aku, tuh tipe
wanita setia tau? Kalau sudah satu, satu selamanya untuk seumur hidup! Lagian
apa susahnya ngangkat telpon, kasih
kabar kamu dimana, lagi ngapain…” Aku
nyap-nyap nggak karuan, mengungkit
semuanya.
Mungkin karena masih capek dari
luar kota, dia dengan sukses mendengkur tak mempedulikan omelanku.
“Hai, jangan tidur dulu, aku
belum puas ngomelnya!” kataku mengguncang-guncang badannya tapi dengkurannya
malah tambah keras.
Besoknya habis shalat shubuh
berjamaah, aku menekuk mukaku sampai saat sarapan. Rupanya dia juga kesal
dengan sikapku. Kami jadi diam-diaman dan berangkat kantor sendiri-sendiri.
Tapi tengah hari ia menelepon ke kantorku meminta maaf.
Malam harinya dia bilang, “Jangan berantem lagi ya Bu?
Capek!”
Aku mengiyakan. Iya lah. Memangnya cemberut terus gak capek?
Mana sedang kangen lagi!
Sejak saat itu, ia memang agak
mendingan. Kalau mau pulang kemalaman, dia telepon dulu member kabar,
menyuruhku makan malam duluan. Tapi itu tak berlangsung lama. Kalau tak
diingatkan, kebiasaan cueknya suka kembali.
Memang sudah cetakannya begitu ‘ngkali. Dengan saudara-saudaranya juga
begitu. Ia tak pernah telepon kalau
aku tak mengingatkannya. Aku maklum, memang hubungan persaudaraan mereka agak
kaku, tidak heboh seperti hubunganku dengan kakak dan adik-adikku. Bahkan
ketika aku suruh dia menelepon ibunya minimal seminggu sekali, ia malah bilang,
‘Ngomongin apa, ya?’ Padahal aku sendiri dalam seminggu paling tidak
menghabiskan sejam dua jam untuk menelepon ortu, mertua, dan saudara-saudara.
Mengingat sifatnya memang cuek,
aku tak menekuk mukaku ketika ia pulang menjelang pukul setengah sebelas.
Biasa, habis ngisi pengajian. Aku
menyiapkan makan dan mengobrol dengan manis. Kami diskusi tentang buku yang
baru dibacanya, kebetulan tentang komunikasi suami istri.
Aku arahkan pembicaraan ke
tingkahnya yang membuatku kesal. Tapi aku tak mau to the point. Aku arahkan hal itu dengan bercerita tentang temen
SMU-ku dulu. Iman dan Novi yang putus pacaran cuma gara-gara tak dibukakan
pintu mobil.
Alkisah, Novi sudah berdandan
habis, berusaha secantik mungkin untuk ngedate,
tapi Iman datang dengan jeans belel dan kaos oblong. Novi berjalan keluar
laksana seorang Putri. Ia berdiri menanti, sementara Iman langsung membuka
mobil dan duduk di belakang kemudi. Novi sebenarnya menunggu dibukakan pintu,
seperti yang biasa dilakukan para gentleman. Akan tetapi, Iman malah
mengklakson mobilnya dengan tak sabar. Akhirnya mereka bertengkar. Besok pagi
berita bahwa mereka putus telah tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Novi
bilang padaku bahwa dia capek jalan sama orang yang nggak ada romantis-romantisnya. Sedangkan Iman bilang, emangnya dia gak punya tangan buat buka pintu?
“Dulu aku heran, kok
bisa-bisanya gara-gara nggak dibukain
pintu mobil aja hubungan mereka jadi putus?” kataku pada suamiku yang
mendengarkan sambil menikmati makanannya.
“Itu tandanya Allah masih sayang
sama si Iman. Dia dijaga Allah biar nggak
pacaran. Mungkin dia sekarang udah
insyaf. Mungkin dia udah jadi
ustadz!”
“Ih kamu salah ngambil ibrah!”
selaku keki. Aku kan cerita begitu untuk menyindirnya.
“Aku ngomong begini sehubungan
dengan … kamu kalau naik bus duluan. Mbok
ya jangan ninggalin aku begitu aja. Salam dulu kek, basa-basi apa gitu… Ini, sih, terus aja lari. Habis
manis sepah dibuang!”
“Doo, si Eneeeng maree!”
Aku terus saja menumpahkan
kekesalanku tentang kecuekan dan ketidakromantisannya. Tentang seringnya aku
member hadiah dasi, kemeja, dan memperhatikan pernak-pernik kebutuhannya,
walaupun kukatakan itu memang uang gajinya. Tapi dia jarang memberiku hadiah.
Sekalinya aku ulang tahun, aku diberi kado pisau Victorinox. Memang sih pisau itu sangat membantuku di dapur. Tapi
kayaknya ngeri… dihadiahi pisau. Yang romantis dikit, dong! Sampai dia tak pernah membelikan bunga untukku pun
ikut kukeluhkan.
“Ya ampun, Say… aku kan sudah menyerahkan semua gajiku padamu, maksudnya biar
kamu bisa beli bunga segerobak atau sesuka yang kamu mau!”
Aku terpaksa tertawa mendengar
jawabannya. “Dasar si Ayah… tak ada romantis-romantisnya. Kamu kan pegang kredit card dan ATM, jadi bisa belanja!”
kataku di sela-sela rasa geli karena sifat cueknya yang memang tak dibuat-buat.
Sejak itu aku lebih maklum lagi
dengan sifatnya. Kalau aku lagi merasa terganggu dengan sifatnya, aku mencoba
mengingat-ingat segala kebaikannya. Perihal dia tak pernah marah, hampir selalu
bermuka cerah di hadapanku, shalih dan rajin ibadah, tegas dan punya prinsip,
cerdas dan enak diajak diskusi, dan yang paling penting sekali ia sangat
mendukung serta memberikan kebebasan padaku untuk mengembangkan diri, sejauh
itu bisa dipertanggungjawabkan.
Keesokan harinya ia membawa lima
buah pot bunga mawar sepulang kerja.
“Say.. Say… ini aku
belikan pohon mawar. Aku tidak membelikanmu bunga, tapi pohon… biar kamu bisa
memetik bunganya sepanjang hari. Sesering kamu suka.”
Aku tertawa haru. “Makasih, ya,
Mas,” ujarku sambil menghadiahinya sun sayang.
Minimal dia mulai mengerti keinginanku.
Sekarang kalau berangkat kerja bareng, ketika akan naik angkot, dia
menyilakan aku naik duluan, dan ketika sampai, dia menungguku turun lebih dulu.
“Udah nyadar?” bisikku padanya sambil berjalan di sisinya.
“Ladies first! Aku kan banyak belajar dari kamu!” jawabnya kalem.
Ya memang sepanjang tahun
perkawinan, kami terus belajar satu sama lain. Seperti tiap saat ada saja
hal-hal unik dari dirinya yang baru kuketahui dan berusaha aku pahami.
Memasuki tahun kelima pernikahan
kami, aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untuk keluarga. Aku masak yang
agak banyak dan istimewa, menyiapkan bunga segar dan lilin untuk candle light. Pagi-pagi sebelum Shubuh,
aku mandi dan mulai memasak. Selesai shalat di masjid, suamiku membaca Al
Qur’an kemudian tidur lagi. Sepertinya dia lupa pada tanggal istimewa kami. Dan
memang dia jarang merasa istimewa pada tanggal-tanggal yang sebalikknya kuanggap
istimewa.
Aku juga segan mengingatkan. Ia
malah sibuk sendiri memilih baju untuk rapat pertemuan direksi. Ketika sarapan,
aku singkirkan bunga segar dari meja makan dan menaruhnya di meja ruang tamu.
Kami sarapan tanpa banyak cakap. Anak-anak pun tak rewel saat disuapi.
Aku menunggu ucapan selamatnya
sampai kami menunggu angkot. Ternyata dia biasa saja sampai kami berpisah bus
karena kantor kami lain jurusan. Ya…
sudahlah, pikirku maklum.
Ketika sibuk-sibuknya
menyelesaikan pekerjaan kantor, pukul setengah dua belas siang, ia nongol di
ruanganku.
“Ada apa, Mas?” aku langsung
berdiri menyambutnya.
Dia tersenyum misterius. “Mau ngapain kamu rapi banget? Pakai jas dan dasi segala. Jangan cakep-cakep, nanti cewek-cewek pada naksir!” sapaku heran.
“Kan tadi abis rapat. Udah, jangan
cerewet. Ngelunch. yuuk!”
“Hah, Makan siang? Kamu nggak kerja?”
“Kan hari ini kita ulang tahun
pernikahan? Tumben kamu nggak ingat?”
“Jadi Mas ingat? Dari tadi
pagi?”
“Nggak sih..! Pas lagi
ngomong-ngomong sama temanku, aku jadi ingat hari ini kita ulang tahun.
Kebetulan aku habis ngantar big bos
ke airport, terus ada urusan luar,
dan masih ada waktu buat kita makan siang berdua. Ayo, kapan lagi!”
Aku tertawa girang. “Wah, surprise, dong! Aku minta izin keluar sebentar… kalau-kalau nanti telat
kembali ke kantor!”
“Aku sudah minta izin. Kubilang
ada urusan keluarga!” katanya berbisik sambil tersenyum.
Teman-teman kantor sibuk
menggoda ketika aku jalan keluar dengannya.
“Gandengan nih yee!”
Pokoknya aku tersenyum terus
sepanjang jalan. Happy berat. Apalagi
dia bawa mobil kantor segala. Ketika aku mau buka pintu, ia buru-buru
membukakan pintuku. Tambah surprise lagi ketika dia memberiku buket bunga
mawar. Wow, hatiku turut berbunga-bunga.
Kami makan di restoran yang agak
mewah.
“Bayar, Say…!” katanya selesai kami makan.
“Bayar? Bukannya kamu yang
traktir?” tanyaku terkejut.
“Aku nggak bawa uang. Kan ATM dan kredit
card ada di kamu, kemarin kamu minta buat bayar telepon!” katanya lagi.
“Aku nggak bawa. Tadi pagi kutaruh di lemari buku. Aku cuma bawa uang
pas untuk ongkos saja, dua puluh ribu… itu pun sudah dipakai buat bayar bus!”
kataku bingung.
Aku memang jarang bawa uang
tunai dalam jumlah banyak. Begitu juga suamiku.
“Wah, gimana nih?”
Ia malah tertawa-tawa geli. Aku
ngomel-ngomel karena diajak makan tanpa persiapan uang.
“Makanya Mas, jadi orang
perhatian dikit!” ujarku kesal.
Ia malah semakin lebar
tertawanya. Akhirnya ia menemui manajer restoran, menjelaskan semuanya dan
meninggalkan KTP. Untung manajer itu mau menerima walaupun wajahnya agak
curiga. Malunya itu lho, masak makan di resto dengan jaminan KTP.
“Sorry ya, Yang… He,
tambahin ongkos, dong..! Uangku habis buat beli bunga!” katanya lagi sambil mesam-mesem.
Aku tambah mendelik keki. Sekali
lagi aku berusaha maklum. Memang sudah
dari sana cetakannya begitu! Pikirku sambil memandangnya gemas…