Cemburu
Ismi Nabilla Yunas
“Ri,
aku gak sejahat yang kamu kira. Kiki itu kakak angkatku, Ri. Kami udah lama
dekat. Lagian kamu juga punya adik angkat ‘kan? Napa kamu sampai cemburuan
gitu?” tanya Lia kesal.
“Kamu
gak ngerti perasaanku, Lia! Kamu sangka gak sakit apa digituin? Apalagi curhat
sama cowok laen. Aku aja gak pernah gitu sama…”
“Kamu
bilang kamu gak pernah gitu? Aku gak bodoh, Rian. Aku sering dapat laporan dari
adik angkatmu Risda kalo kamu selalu curhat sama dia dan aku diam saja karna
aku malas meributkan hal sepele seperti ini!” potong Lia tak sabar.
“Jadi
kamu mau balas dendam sama aku?” tanya Rian curiga.
“Aku
bukan balas dendam, Ri. Aku…”
“Sudah
jangan banyak bicara. Pokoknya mulai saat ini kalo kamu sayang sama aku, kamu
gak boleh berhubungan lagi sama cowok kecuali aku! Kalo gak kita putus!” ancam
Rian.
Lia
terhenyak tak percaya. Mengapa Rian tak pernah bisa mengerti perasaannya
sedangkan ia terlalu sering mengalah demi cintanya pada Rian. Tanpa menunggu
jawaban dari Lia, Rian langsung pergi meninggalkan Lia sendirian.
Semoga saja kamu sadar Rian, batin Lia
dalam hati.
***
Lia
masih saja melamun di halaman sekolah. Padahal sebentar lagi akan ada pelajaran
Biologi, pelajaran yang paling ia sukai selama ini. Pertengkaran antara ia dan
Rian tiga hari yang lalu membuyarkan pikirannya. Ia tak habis pikir mengapa Rian
sampai segitunya. Apakah ia harus terus-terusan mengalah seperti ini?
“Hai,
Lia!” sapa Kiki.
Lia
terkejut dan langsung lari menuju perpustakaan. Kiki menatap kepergian Lia
dengan heran. Gak biasanya dia gitu,
pikirnya. Apakah ini karena peristiwa
seminggu yang lalu?
Beruntunglah
Lia. Ia menemukan Ina, sahabatnya di perpustakaan. Ina memang kutu buku. Semua
buku dilahapnya. Mungkin jika diadakan lomba kutu buku ia pasti menang,
Lia
pun duduk di samping Ina sambil mengatur nafas sejenak. Ina yang sedari asyik
membaca buku menatapnya heran dari balik kacamatanya.
“Napa,
Li?” tanya Ina.
Lia
menggeleng cepat.
“Ada
masalah lagi sama Rian?”
Lia
mengangguk lemah.
“Cerita
dong, Li. Aku gak mau kamu sampe kusut gitu. Kayak baju yang berhari-hari gak
disetrika, tau.” ujar Ina sambil tertawa.
Lia
gondok berat. “Enak aja! Senang banget bilang gitu!”
“Habisnya
kamu gak mau cerita sih.”
“Gimana
mau cerita. Kamu kan lagi pacaran sama buku.” sindir Lia.
Ina
tertawa. “Yaudah kamu cerita terus apa masalahnya.”
Lia
pun bercerita panjang lebar. Menceritakan semuanya. Peristiwa tiga hari yang
lalu. Sifat keras kepala Rian yang hampir membuatnya putus asa. Ina pun
mendengarkannya dengan seksama.
“Kurasa…”
simpul Ina. “dia cemburu buta sama kamu, Li. Buktinya sampai larang-larang kamu
dekat sama cowok laen. Tapi…”
“Tapi
apa, Na?” tanya Lia tak sabar.
“Tapi
dia jadi overprotective gitu sama kamu, Li. Sampai-sampai kalo kamu dekat sama
cowok laen, kalian putus. Kalo kamu gak sengaja berpapasan dengan teman sekelas
kita yang cowok, trus dia minta putus kan gak wajar.” sambung Ina.
“Itulah
yang aku pikirin, Na. Aku gak boleh dekat sama cowok laen siapapun dia. Berarti
ayahku dan saudara-saudaraku juga termasuk, ’kan?” tanya Lia meminta
persetujuan.
“Iya
bener tuh, Li. Kebangetan amat sih, dia? Biar kulabrak dia sekarang!” jawab Ina
berang.
“Jangan,
Na. Nanti…”
“Kamu
mau mengalah terus demi dia? Sadar dong, Li. Kamu udah berapa kali mengalah
demi dia. Kamu terlalu sayang sama dia sedangkan dia gak mau ngerti sama
kamu!” potong Ina sambil berlalu dari
perpustakaan.
Lia
bingung. Nanti kalo Rian malah
marah-marah sama Ina gimana? batinnya.
***
“Rian!”
teriak Ina marah begitu ia sampai di kelas Rian.
“Ya?
Napa?” tanya Rian heran.
“Kamu
keterlaluan!” vonis Ina.
“Keterlaluan
gimana?” Rian semakin bingung.
“Kamu
selalu aja mengekang Lia! Yang gak boleh ini lah, itu lah! Padahal Lia sayang
banget sama kamu, tau! Dia selalu ngalah selama ini demi kamu! Tapi kamu malah
gak mau ngertiin dia! Padahal kamu juga melakukan hal yang sama padanya!” ujar
Ina emosi. Ia tak terima sahabatnya diperlakukan demikian.
“Trus
kamu ngapain ikut campur urusan kami? Ini bukan…”
“Urusan
Lia itu urusanku juga! Apalagi kalo sampai menyakiti hatinya!” potong Ina
sengit.
Rian
terdiam. Ina pun menyemburkan lautan kata. Tak seharusnya ia mengekang Lia. Lia
juga manusia. Namun ia juga tak ingin terluka dan kehilangan Lia.
“Kalo
kamu gak mau ubah sikapmu itu, kalian…”
“Ina,
ngapain kamu di sini?” tanya Indra heran. Indra adalah kekasih Ina dan teman
sekelas sekaligus sahabat Rian.
“Tanya
aja sama sahabatmu ini!” jawab Ina marah dan langsung pergi.
Indra
heran sambil menatap ke arah Rian.
“Napa,
sob? Masalah cewek lagi?” tanya Indra pada Rian.
Rian
mengangguk. “Iya gitu deh.”
“Apa
masalahnya?”
“Biasa,
Lia deket lagi sama cowok. Si Kiki. Katanya itu kakak angkatnya. Tapi napa
mereka terlalu dekat ya?” tanya Rian.
“Ah,
kamu pun terlalu percaya sama pikiran negatifmu, tuh. Mana mungkin Lia gitu.
‘Kan ada cewekku si Ina yang ngawasin dia? Kamu sih gak percayaan sama Lia.
Katanya sayang sama Lia? Kalo sayang itu harusnya percaya sama pacar sendiri.
Ini bukannya percaya sama pacar malah percaya sama adik angkat dan sahabat
ceweknya. Gimana sih, kamu?” tukas Indra.
Rian
termenung. Iya juga, ya? Sebaiknya aku
harus bicara soal ini sama Lia.
***
Lia
pulang sekolah dengan bimbang. Ia teringat kenangannya bersama Rian. Saat
mereka tertawa bersama, menyelesaikan masalah tanpa masalah, dan sebagainya.
Hatinya pedih melihat sikap Rian yang berubah dan tak seperti dulu lagi. Ia
merindukan Rian yang dulu.
Namun
perutnya terasa sakit. Ia tak pernah makan lagi sejak peristiwa tiga hari yang
lalu. Sakit di perutnya menjalar sampai ke kepalanya. Kini ia merasa lemah tak
berdaya.
Rian
yang sedang menghidupkan mobilnya menatap heran ke arah Lia. Wajah Lia terlihat
pucat. Apakah ia sedang sakit?
Rian
langsung keluar dari mobilnya. Ia langsung menghampiri Lia.
“Lia…”
panggil Rian.
Yang
dipanggil tak mendengar. Ia mulai setengah sadar.
“Pulang
sama aku aja. Yuk.” ajak Rian.
Kali
ini Lia sudah kehilangan kesadaran. Rian menyambutnya dan membawanya ke dalam
mobil merahnya. Ia langsung mengendarai mobilnya dengan kencang. Ia hanya
memikirkan Lia.
***
“Lia
kamu gak apa-apa kan?” tanya Rian. Lia terkejut. Ia sudah berada di rumah. Ada
Rian, Ina, dan Indra. Rupanya Rian menelepon mereka saat ia sudah sampai di
rumah Lia.
“Lia?”
“Eh,
iya Rian. Aku udah gak apa-apa kok.” jawab Lia.
“Kamu
kenapa, Li? Sakit?” tanya Ina.
“Aku
gak apa-apa kok, Na. Aku Cuma lapar aja tadi. Kepalaku juga pusing.” jawabnya
berusaha menenangkan Ina.
“Tapi
muka kamu pucat banget, Li. Emangnya udah berapa hari kamu gak makan?” tanya
Indra setengah bercanda.
“Cuma
tiga hari, kok.” jawab Lia singkat.
Ketiga
pasang mata menatap Lia tak percaya.
“Serius
kamu, Li?” tanya Rian memastikan.
“Iya
aku serius.” Jawab Lia jujur.
“Terus
kenapa kamu gak makan selama itu? Apa gara-gara aku kamu sampai segitunya?”
tanya Rian sedih. Ia hafal kebiasaan Lia kalau sedang ditimpa masalah. Bahkan
pernah Lia masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga. Saat itu ia sedang
melamun memikirkan masalahnya dengan Rian hingga tak memerhatikan jalan yang ia
lalui.
“Gak
kok, Rian. Aku cuma lagi gak nafsu makan aja.” jawab Lia. Ia memang sedang tidak
nafsu makan selama tiga hari itu. Namun ia tak berani mengatakan yang
sebenarnya kepada Rian. Ia tak ingin menambah beban pikiran Rian walau cowok
itu sering menyakiti hatinya.
“Iya
gak nafsu makannya gara-gara aku yang selalu tak percaya sama kamu kan?” tanya
Rian merasa bersalah.
Lia
memandang Rian dengan sendu. Ia tak tega membuat Rian merasa bersalah seperti
ini.
“Lia
maafin aku. Aku gak percaya sama kamu karna aku takut kehilangan kamu. Tapi aku
sadar kalo apa yang aku lakukan malah membuatmu terluka. Maafin aku ya? Aku
janji aku bakalan percaya penuh sama kamu. Dan kalo kamu merasa terluka karna
sikapku bilang aja sama aku. Aku janji gak bakalan marah lagi sama kamu.” pinta
Rian.
Tak
terasa air mata jatuh membasahi pipinya. Rian mengusap air matanya dengan kedua
telapak tangannya.
“Aku
maafin kamu, Rian. Tapi janji jangan gitu lagi sama aku, ya?” jawab Lia setelah
ia dapat menguasai diri.
Rian
tersenyum bahagia mendengar perkataan Lia. Begitu juga Ina dan Indra.