mengubah kursor tapi tidak mengubah kursor ketika menyorot link

Rabu, 08 Mei 2013

Cemburu (Cerpen)

Ada yang punya pacar cemburuan di sini? Atau ada yang cemburuan sama pacarnya di sini? Oke. Kali ini saya akan posting cerpen yang berkaitan dengan itu. So, selamat membaca! :D


Cemburu
Ismi Nabilla Yunas

                “Ri, aku gak sejahat yang kamu kira. Kiki itu kakak angkatku, Ri. Kami udah lama dekat. Lagian kamu juga punya adik angkat ‘kan? Napa kamu sampai cemburuan gitu?” tanya Lia kesal.
                “Kamu gak ngerti perasaanku, Lia! Kamu sangka gak sakit apa digituin? Apalagi curhat sama cowok laen. Aku aja gak pernah gitu sama…”
                “Kamu bilang kamu gak pernah gitu? Aku gak bodoh, Rian. Aku sering dapat laporan dari adik angkatmu Risda kalo kamu selalu curhat sama dia dan aku diam saja karna aku malas meributkan hal sepele seperti ini!” potong Lia tak sabar.
                “Jadi kamu mau balas dendam sama aku?” tanya Rian curiga.
                “Aku bukan balas dendam, Ri. Aku…”
             “Sudah jangan banyak bicara. Pokoknya mulai saat ini kalo kamu sayang sama aku, kamu gak boleh berhubungan lagi sama cowok kecuali aku! Kalo gak kita putus!” ancam Rian.
             Lia terhenyak tak percaya. Mengapa Rian tak pernah bisa mengerti perasaannya sedangkan ia terlalu sering mengalah demi cintanya pada Rian. Tanpa menunggu jawaban dari Lia, Rian langsung pergi meninggalkan Lia sendirian.
                Semoga saja kamu sadar Rian, batin Lia dalam hati.

***

                Lia masih saja melamun di halaman sekolah. Padahal sebentar lagi akan ada pelajaran Biologi, pelajaran yang paling ia sukai selama ini. Pertengkaran antara ia dan Rian tiga hari yang lalu membuyarkan pikirannya. Ia tak habis pikir mengapa Rian sampai segitunya. Apakah ia harus terus-terusan mengalah seperti ini?
                “Hai, Lia!” sapa Kiki.
                Lia terkejut dan langsung lari menuju perpustakaan. Kiki menatap kepergian Lia dengan heran. Gak biasanya dia gitu, pikirnya. Apakah ini karena peristiwa seminggu yang lalu?
                Beruntunglah Lia. Ia menemukan Ina, sahabatnya di perpustakaan. Ina memang kutu buku. Semua buku dilahapnya. Mungkin jika diadakan lomba kutu buku ia pasti menang,
                Lia pun duduk di samping Ina sambil mengatur nafas sejenak. Ina yang sedari asyik membaca buku menatapnya heran dari balik kacamatanya.
                “Napa, Li?” tanya Ina.
                Lia menggeleng cepat.
                “Ada masalah lagi sama Rian?”
                Lia mengangguk lemah.
                “Cerita dong, Li. Aku gak mau kamu sampe kusut gitu. Kayak baju yang berhari-hari gak disetrika, tau.” ujar Ina sambil tertawa.
                Lia gondok berat. “Enak aja! Senang banget bilang gitu!”
                “Habisnya kamu gak mau cerita sih.”
                “Gimana mau cerita. Kamu kan lagi pacaran sama buku.” sindir Lia.
                Ina tertawa. “Yaudah kamu cerita terus apa masalahnya.”
                Lia pun bercerita panjang lebar. Menceritakan semuanya. Peristiwa tiga hari yang lalu. Sifat keras kepala Rian yang hampir membuatnya putus asa. Ina pun mendengarkannya dengan seksama.
                “Kurasa…” simpul Ina. “dia cemburu buta sama kamu, Li. Buktinya sampai larang-larang kamu dekat sama cowok laen. Tapi…”
                “Tapi apa, Na?” tanya Lia tak sabar.
                “Tapi dia jadi overprotective gitu sama kamu, Li. Sampai-sampai kalo kamu dekat sama cowok laen, kalian putus. Kalo kamu gak sengaja berpapasan dengan teman sekelas kita yang cowok, trus dia minta putus kan gak wajar.” sambung Ina.
                “Itulah yang aku pikirin, Na. Aku gak boleh dekat sama cowok laen siapapun dia. Berarti ayahku dan saudara-saudaraku juga termasuk, ’kan?” tanya Lia meminta persetujuan.
                “Iya bener tuh, Li. Kebangetan amat sih, dia? Biar kulabrak dia sekarang!” jawab Ina berang.
                “Jangan, Na. Nanti…”
                “Kamu mau mengalah terus demi dia? Sadar dong, Li. Kamu udah berapa kali mengalah demi dia. Kamu terlalu sayang sama dia sedangkan dia gak mau ngerti sama kamu!”  potong Ina sambil berlalu dari perpustakaan.
                Lia bingung. Nanti kalo Rian malah marah-marah sama Ina gimana? batinnya.

***

                “Rian!” teriak Ina marah begitu ia sampai di kelas Rian.
                “Ya? Napa?” tanya Rian heran.
                “Kamu keterlaluan!” vonis Ina.
                “Keterlaluan gimana?” Rian semakin bingung.
                “Kamu selalu aja mengekang Lia! Yang gak boleh ini lah, itu lah! Padahal Lia sayang banget sama kamu, tau! Dia selalu ngalah selama ini demi kamu! Tapi kamu malah gak mau ngertiin dia! Padahal kamu juga melakukan hal yang sama padanya!” ujar Ina emosi. Ia tak terima sahabatnya diperlakukan demikian.
                “Trus kamu ngapain ikut campur urusan kami? Ini bukan…”
                “Urusan Lia itu urusanku juga! Apalagi kalo sampai menyakiti hatinya!” potong Ina sengit.
                Rian terdiam. Ina pun menyemburkan lautan kata. Tak seharusnya ia mengekang Lia. Lia juga manusia. Namun ia juga tak ingin terluka dan kehilangan Lia.
                “Kalo kamu gak mau ubah sikapmu itu, kalian…”
                “Ina, ngapain kamu di sini?” tanya Indra heran. Indra adalah kekasih Ina dan teman sekelas sekaligus sahabat Rian.
                “Tanya aja sama sahabatmu ini!” jawab Ina marah dan langsung pergi.
                Indra heran sambil menatap ke arah Rian.
                “Napa, sob? Masalah cewek lagi?” tanya Indra pada Rian.
                Rian mengangguk. “Iya gitu deh.”
                “Apa masalahnya?”
                “Biasa, Lia deket lagi sama cowok. Si Kiki. Katanya itu kakak angkatnya. Tapi napa mereka terlalu dekat ya?” tanya Rian.
                “Ah, kamu pun terlalu percaya sama pikiran negatifmu, tuh. Mana mungkin Lia gitu. ‘Kan ada cewekku si Ina yang ngawasin dia? Kamu sih gak percayaan sama Lia. Katanya sayang sama Lia? Kalo sayang itu harusnya percaya sama pacar sendiri. Ini bukannya percaya sama pacar malah percaya sama adik angkat dan sahabat ceweknya. Gimana sih, kamu?” tukas Indra.
                Rian termenung. Iya juga, ya? Sebaiknya aku harus bicara soal ini sama Lia.

***

                Lia pulang sekolah dengan bimbang. Ia teringat kenangannya bersama Rian. Saat mereka tertawa bersama, menyelesaikan masalah tanpa masalah, dan sebagainya. Hatinya pedih melihat sikap Rian yang berubah dan tak seperti dulu lagi. Ia merindukan Rian yang dulu.
                Namun perutnya terasa sakit. Ia tak pernah makan lagi sejak peristiwa tiga hari yang lalu. Sakit di perutnya menjalar sampai ke kepalanya. Kini ia merasa lemah tak berdaya.
                Rian yang sedang menghidupkan mobilnya menatap heran ke arah Lia. Wajah Lia terlihat pucat. Apakah ia sedang sakit?
                Rian langsung keluar dari mobilnya. Ia langsung menghampiri Lia.
                “Lia…” panggil Rian.
                Yang dipanggil tak mendengar. Ia mulai setengah sadar.
                “Pulang sama aku aja. Yuk.” ajak Rian.
                Kali ini Lia sudah kehilangan kesadaran. Rian menyambutnya dan membawanya ke dalam mobil merahnya. Ia langsung mengendarai mobilnya dengan kencang. Ia hanya memikirkan Lia.

***

                “Lia kamu gak apa-apa kan?” tanya Rian. Lia terkejut. Ia sudah berada di rumah. Ada Rian, Ina, dan Indra. Rupanya Rian menelepon mereka saat ia sudah sampai di rumah Lia.
                “Lia?”
                “Eh, iya Rian. Aku udah gak apa-apa kok.” jawab Lia.
                “Kamu kenapa, Li? Sakit?” tanya Ina.
                “Aku gak apa-apa kok, Na. Aku Cuma lapar aja tadi. Kepalaku juga pusing.” jawabnya berusaha menenangkan Ina.
                “Tapi muka kamu pucat banget, Li. Emangnya udah berapa hari kamu gak makan?” tanya Indra setengah bercanda.
                “Cuma tiga hari, kok.” jawab Lia singkat.
                Ketiga pasang mata menatap Lia tak percaya.
                “Serius kamu, Li?” tanya Rian memastikan.
                “Iya aku serius.” Jawab Lia jujur.
                “Terus kenapa kamu gak makan selama itu? Apa gara-gara aku kamu sampai segitunya?” tanya Rian sedih. Ia hafal kebiasaan Lia kalau sedang ditimpa masalah. Bahkan pernah Lia masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga. Saat itu ia sedang melamun memikirkan masalahnya dengan Rian hingga tak memerhatikan jalan yang ia lalui.
                “Gak kok, Rian. Aku cuma lagi gak nafsu makan aja.” jawab Lia. Ia memang sedang tidak nafsu makan selama tiga hari itu. Namun ia tak berani mengatakan yang sebenarnya kepada Rian. Ia tak ingin menambah beban pikiran Rian walau cowok itu sering menyakiti hatinya.
                “Iya gak nafsu makannya gara-gara aku yang selalu tak percaya sama kamu kan?” tanya Rian merasa bersalah.
                Lia memandang Rian dengan sendu. Ia tak tega membuat Rian merasa bersalah seperti ini.
                “Lia maafin aku. Aku gak percaya sama kamu karna aku takut kehilangan kamu. Tapi aku sadar kalo apa yang aku lakukan malah membuatmu terluka. Maafin aku ya? Aku janji aku bakalan percaya penuh sama kamu. Dan kalo kamu merasa terluka karna sikapku bilang aja sama aku. Aku janji gak bakalan marah lagi sama kamu.” pinta Rian.
                Tak terasa air mata jatuh membasahi pipinya. Rian mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.
                “Aku maafin kamu, Rian. Tapi janji jangan gitu lagi sama aku, ya?” jawab Lia setelah ia dapat menguasai diri.
                Rian tersenyum bahagia mendengar perkataan Lia. Begitu juga Ina dan Indra.