Based on my true story…
Pelarian Cinta
Ismi Nabilla Yunas
Pernahkah
kalian menjadi pelarian cinta oleh orang yang kalian cintai? Selama ini aku
belum pernah merasakan sendiri menjadi pelarian cintanya orang yang kucintai.
Dulu aku hanya berpikir bahwa orang yang melarikan cintanya kepada orang yang
mencintainya adalah orang yang paling brengsek yang pernah ada. Melampiaskan
cintanya kepada seseorang hanya karena cinta yang tak terbalas. Egois adalah
satu kata yang tepat untuk mereka, pikirku saat itu.
Namun
kali ini aku sendiri yang menjadi pelarian cinta seeseorang dan yang membuat
hatiku miris, orang yang melakukan hal itu adalah kekasihku sendiri, Sandy,
setelah satu tahun aku bersamanya dan setelah aku mencintainya lebih dari
apapun. Bahkan aku telah menaruh harapan padanya semoga kami akan selalu
bersama sampai maut memisahkan. Namun baru aku tahu ia hanya menganggapku
sebagai pelarian cintanya saat ia mengatakan sendiri perasaannya padaku.
“Kamu
masih ingat Sissy kan?” tanyanya suatu ketika.
“Sissy?
Mantan kekasihmu yang udah meninggal itu?” tanyaku. Ia memang pernah cerita
padaku bahwa Sissy adalah mantan kekasihnya yang telah meninggal.
“Bener
banget. Kemarin aku bertemu orang yang mirip banget dengan dia saat aku sedang
berjalan menuju rumahku. Mirip banget, Mia.
Sumpah!” Ia mulai bercerita.
Aku
tersentak kaget. “Lalu, kamu sapa dirinya?”
“Tidak.
Tetapi aku seperti melihat Sissy saat aku melihatnya. Rasa cintaku pada Sissy
muncul kembali saat itu.” lanjutnya.
Aku
mulai cemburu dan kecewa atas kata-katanya yang tak menunjukkan perasaan
bersalah sedikitpun. Hatiku terluka.
“Sifatnya,
tingkah lakunya, dan ucapannya mirip banget dengan Sissy. Aku jadi teringat
Sissy.” lanjutnya tanpa menyadari apa yang telah terjadi padaku.
Hatiku
semakin terluka mendengar lanjutan cerita Sandy. Sebegitu cintanyakah ia pada
Sissy sampai-sampai rasa cinta itu masih ada walau ia telah bersamaku? Apakah
aku ini pelarian cintanya? isakku dalam hati.
“Berarti
kamu masih mencintai Sissy kan?” tanyaku tak sabar.
Sandy
tercekat. Ia mulai menyadari apa yang telah diucapkannya. “Mia, maafkan aku.
Aku tak bermaksud melukai perasaanmu. Aku…”
“Aku
baru sadar sekarang bahwa aku hanyalah pelarian cintamu.” potongku cepat. Aku berlalu
meninggalkan Sandy yang merasa bersalah dengan linangan air mata.
***
Aku
putuskan untuk menceritakan masalahku kepada Rara, sahabatku sejak kecil. Maka
kumantapkan langkahku menuju rumahnya.
“Mia?
Kamu kenapa?” tanya Rara heran.
Kupeluk
erat Rara dan menangis dipelukannya. Rara mulai mengerti apa yang harus ia
lakukan.
“Yaudah,
masuk aja dulu. Kita ceritanya di kamar aja. Kamu mau minum apa?” tanyanya.
“Terserah
kamu aja deh.” jawabku setelah mampu menguasai diri.
Rara
berlalu menuju dapur sedangkan aku menuju kamarnya. Ia kembali dengan membawa
dua botol Coca Cola dan dua gelas kecil.
“Ada
masalah lagi ya sama si Sandy?” tanya Rara memulai pembicaraan.
Aku
terdiam. Sesuai kesepakatan kami, diam artinya iya. Maka dengan terdiamnya aku
sudah cukup bagi Rara untuk mendapatkan jawaban dariku.
“Apa
masalahnya?”
Aku
menghela nafas panjang. Lalu kuceritakan apa yang terjadi saat Sandy mengatakan
bahwa ia masih mencintai Sissy di depanku. Air mataku bercucuran kembali.
Rara
terhenyak, “Sandy kurang ajar! Gila banget tuh orang! Gak bersyukur banget dia
udah pacaran sama kamu!”
“Lalu
apa yang harus aku lakukan? Aku memang terluka tapi aku masih terlalu
mencintainya. Please, Ra. Beri aku jawaban…” pintaku.
“The
only way is one. Putus! Tetapi sayang, hubungan kalian udah setahun. Dan kamu masih
mencintainya walaupun kamu udah tau dia melukai perasaanmu. Jadi, aku gak bisa
berbuat apa-apa.” ujarnya sedih.
Aku
mulai kehilangan harapan. “Hanya itu caranya? Apa tak ada cara lain?”
“Emm…
Gini aja. Kalian bicarakan lagi tentang hubungan kalian. Cobalah bersikap
terbuka. Siapa tau dia…”
“Hei
semua! Saking serunya ngerumpi gak ngajak-ngajak ya..” sahut Firda di depan
pintu kamar Rara. Firda juga sahabatku sejak kecil.
Firda
tak tahu apa yang terjadi padaku. Ia heran melihat mataku yang sembab. Maka ia
beranikan diri untuk bertanya.
“Kenapa,
Putri Salju? Ada masalah apalagi sama pangeran pujaanmu?” tanyanya mencoba melucu.
Aku
tertawa sambil memukulnya dengan bantal. “Ngaco!”
“Biarin!”
jawabnya.
Rara
hanya tertawa melihat tingkah kami berdua. “Udah, ah. Biar kuceritain
semuanya.” putus Rara akhirnya.
Rara
pun menceritakan semuanya. Firda mendengarkan sambil meminum Coca Cola.
***
“Jadi..”
sambung Rara. “aku gak tau gimana caranya mecahin masalah si Putri Salju ini.”
Ia mulai meledekku lagi.
“Rara..”
ujarku ngambek. Masa dari tadi aku dipanggil Putri Salju?
Rara
hanya tertawa menanggapi sikapku. “Trus gimana dong, Fir?”
Firda
berfikir sejenak. Ia bingung juga mendengar cerita Rara. Pikirannya menjadi
buntu.
“Fir…”
aku mulai tak sabar.
“Aha!”
teriak Firda semangat. Membuatku dan Rara terkejut setengah mati. Serasa
jantung kami mau copot.
“Woi!
Ini rumah bukan hutan! Jangan mentang-mentang tinggal di hutan bisa seenaknya
aja teriak-teriak di rumah aku!” gerutu Rara.
Aku
hanya bisa tertawa melihat tingkah dua sahabatku yang kocak melebihi pelawak di
televisi ini.
“Sorry,
bro. Baru aja dapat ide nih.” sahut Firda sambil mengedipkan matanya padaku.
Dan
Firda pun mengagas rencana. Aku membelalak heran.
“Gila
kamu, Fir. Mana bisa aku puasa sms-an seminggu dengan Sandy. Seharian gak
sms-an dengan dia aja aku demam.” ujarku tak setuju.
“Eee…
Dicoba dulu. Cuma sebentar. Ntar biar aku yang olah. Oke?” jawab Firda.
Aku pun
hanya bisa mengangguk pasrah.
***
Esoknya aku coba melakukan apa
yang dikatakan oleh Firda. Aku “puasa” sms-an dengan Sandy. Jika ia meneleponku
juga tak kuangkat. Menurut analisis Firda, jika Sandy benar-benar mencintaiku,
ia pasti akan berusaha mendapatkan kabar tentangku.
Menurut
laporan Rara, Sandy mulai gelisah. Sudah seminggu smsnya tak kubalas dan
telepon darinya tak kuangkat. Terakhir smsnya berbunyi “Mia, kalo aku salah
maafin aku ya? Cintaku saat ini hanya untukmu. Kemarin aku khilaf, Mi. Please
maafin aku. Jangan diamin aku terus, dong. Kamu gak kenapa-napa kan? Kamu
baik-baik saja, kan?”
Selama
liburan itu aku terus memikirkan Sandy. Entah mengapa aku merasa bahwa aku
terlalu jahat padanya. Sampai menangis aku mendengar lirik lagu dari band
kesayanganku, NOAH yang berjudul Separuh Aku.
Dan terjadi lagi...
Kisah
lama yang terulang kembali...
Kau
terluka lagi...
Dari
cinta rumit yang kau jalani...
Aku
ingin kau merasa...
Kamu
mengerti aku mengerti kamu...
Aku
ingin kau sadari...
Cintamu
bukanlah dia...
Dengar
laraku....
Suara
hati ini memanggil namamu....
Karena
separuh aku dirimu...
Ku
ada di sini...
Pahamilah
kau tak pernah sendiri...
Karena
aku selalu...
Di
dekatmu saat engkau terjatuh...
Aku
ingin kau merasa...
Kamu
mengerti aku mengerti kamu...
Aku
ingin kau pahami...
Cintamu
bukanlah dia...
Dengar
laraku...
Suara
hati ini memanggil namamu...
Karena
separuh aku dirimu...
Dengar
laraku...
Suara
hati ini memanggil namamu...
Karena
separuh aku...
Menyentuh
laramu...
Semua
lukamu telah menjadi milikku...
Karena
separuh aku dirimu...
Kebetulan sekali saat itu aku
demam. Dan rupanya ia ke rumahku setelah Rara dan Firda menceritakan kondisiku
saat ini. Menurut Firda, Sandy sangat terpukul saat mendengar sendiri dari
mereka berdua bahwa aku sedang sakit. Jika aku demam saja ia sampai segitunya,
apalagi jika aku sampai terkena penyakit DBD!
Terdengar
suara ketukan di pintu kamarku.
“Masuk…”
jawabku lemah.
Aku
mengira ibuku yang mengetuk pintu. Ternyata Sandy.
“Mia…”
sapanya sedih.
“Sandy…”
jawabku lemah.
“Kamu
masih marah, ya, sama aku? Please maafin aku, Mia…” ujarnya memohon.
Kutatap wajahnya. Rasa bersalah
jelas tersirat di wajahnya. Namun aku juga bingung apa yang harus kulakukan
selanjutnya.
“Sebenarnya aku gak mengharapkan
Sissy kembali lagi, Mi. Dia udah pergi ninggalin kita semua. Aku juga udah
mendapatkan cinta sejati dalam hidupku sekarang. Dan cinta sejatiku itu kamu,
Mia. Please maafin aku. Atau kalo kamu mau, kamu boleh berbuat semaumu. Asalkan
kamu senang dengan itu semua. Anggap aja itu sebagai tebusan atas kesalahanku
padamu….” ujarnya.
Aku semakin tidak tega melihatnya.
Malah aku yang merasa bersalah sekarang.
“Gak usah aja. Gak perlu pake
tebusan. Aku udah maafin kamu, kok. Asalkan kamu berani berjanji takkan pernah
menduakan cintaku lagi.” jawabku pelan.
Wajahnya menjadi cerah. “Iya, aku
janji takkan melakukan hal seperti itu lagi. Thanks udah mau maafin aku, ya,
sayang…”
“Iya, sayang. Maaf juga ya aku gak
balas sms kamu. Aku lemes banget. Apalagi nomor hpku habis pulsa.” sahutku
merasa bersalah.
Senyuman manis di wajah Sandy kembali
hadir.
Aku beranjak dari tempat tidur dan duduk
di sampingnya.
“Aku janji gak bakalan gitu lagi. Demi
cintaku padamu, Mia Agustina…” ujarnya seraya menyebut namaku.
Aku terharu. Ia mulai memelukku
erat. Sementara itu Firda dan Rara mengintip dari balik pintu dan mengacungkan
dua ibu jari mereka padaku. Aku tersenyum bahagia dan mengacungkan dua ibu
jariku juga.
***
Sejak saat itu, hampir tak ada lagi
pertengkaran antara kami berdua. Melihat sikapnya padaku sekarang, aku sudah
bisa membuktikan bahwa aku bukanlah pelarian cintanya…