mengubah kursor tapi tidak mengubah kursor ketika menyorot link

Jumat, 28 Juni 2013

Pelarian Cinta (Cerpen)



Based on my true story…
Pelarian Cinta
Ismi Nabilla Yunas

                Pernahkah kalian menjadi pelarian cinta oleh orang yang kalian cintai? Selama ini aku belum pernah merasakan sendiri menjadi pelarian cintanya orang yang kucintai. Dulu aku hanya berpikir bahwa orang yang melarikan cintanya kepada orang yang mencintainya adalah orang yang paling brengsek yang pernah ada. Melampiaskan cintanya kepada seseorang hanya karena cinta yang tak terbalas. Egois adalah satu kata yang tepat untuk mereka, pikirku saat itu.
                Namun kali ini aku sendiri yang menjadi pelarian cinta seeseorang dan yang membuat hatiku miris, orang yang melakukan hal itu adalah kekasihku sendiri, Sandy, setelah satu tahun aku bersamanya dan setelah aku mencintainya lebih dari apapun. Bahkan aku telah menaruh harapan padanya semoga kami akan selalu bersama sampai maut memisahkan. Namun baru aku tahu ia hanya menganggapku sebagai pelarian cintanya saat ia mengatakan sendiri perasaannya padaku.
                “Kamu masih ingat Sissy kan?” tanyanya suatu ketika.
                “Sissy? Mantan kekasihmu yang udah meninggal itu?” tanyaku. Ia memang pernah cerita padaku bahwa Sissy adalah mantan kekasihnya yang telah meninggal.
                “Bener banget. Kemarin aku bertemu orang yang mirip banget dengan dia saat aku sedang berjalan menuju rumahku. Mirip banget, Mia.  Sumpah!” Ia mulai bercerita.
                Aku tersentak kaget. “Lalu, kamu sapa dirinya?”
                “Tidak. Tetapi aku seperti melihat Sissy saat aku melihatnya. Rasa cintaku pada Sissy muncul kembali saat itu.” lanjutnya.
                Aku mulai cemburu dan kecewa atas kata-katanya yang tak menunjukkan perasaan bersalah sedikitpun. Hatiku terluka.
                “Sifatnya, tingkah lakunya, dan ucapannya mirip banget dengan Sissy. Aku jadi teringat Sissy.” lanjutnya tanpa menyadari apa yang telah terjadi padaku.
                Hatiku semakin terluka mendengar lanjutan cerita Sandy. Sebegitu cintanyakah ia pada Sissy sampai-sampai rasa cinta itu masih ada walau ia telah bersamaku? Apakah aku ini pelarian cintanya? isakku dalam hati.
                “Berarti kamu masih mencintai Sissy kan?” tanyaku tak sabar.
                Sandy tercekat. Ia mulai menyadari apa yang telah diucapkannya. “Mia, maafkan aku. Aku tak bermaksud melukai perasaanmu. Aku…”
                “Aku baru sadar sekarang bahwa aku hanyalah pelarian cintamu.” potongku cepat. Aku berlalu meninggalkan Sandy yang merasa bersalah dengan linangan air mata.

***

                Aku putuskan untuk menceritakan masalahku kepada Rara, sahabatku sejak kecil. Maka kumantapkan langkahku menuju rumahnya.
                “Mia? Kamu kenapa?” tanya Rara heran.
                Kupeluk erat Rara dan menangis dipelukannya. Rara mulai mengerti apa yang harus ia lakukan.
                “Yaudah, masuk aja dulu. Kita ceritanya di kamar aja. Kamu mau minum apa?” tanyanya.
                “Terserah kamu aja deh.” jawabku setelah mampu menguasai diri.
                Rara berlalu menuju dapur sedangkan aku menuju kamarnya. Ia kembali dengan membawa dua botol Coca Cola dan dua gelas kecil.
                “Ada masalah lagi ya sama si Sandy?” tanya Rara memulai pembicaraan.
                Aku terdiam. Sesuai kesepakatan kami, diam artinya iya. Maka dengan terdiamnya aku sudah cukup bagi Rara untuk mendapatkan jawaban dariku.
                “Apa masalahnya?”
                Aku menghela nafas panjang. Lalu kuceritakan apa yang terjadi saat Sandy mengatakan bahwa ia masih mencintai Sissy di depanku. Air mataku bercucuran kembali.
                Rara terhenyak, “Sandy kurang ajar! Gila banget tuh orang! Gak bersyukur banget dia udah pacaran sama kamu!”
                “Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku memang terluka tapi aku masih terlalu mencintainya. Please, Ra. Beri aku jawaban…” pintaku.
                “The only way is one. Putus! Tetapi sayang, hubungan kalian udah setahun. Dan kamu masih mencintainya walaupun kamu udah tau dia melukai perasaanmu. Jadi, aku gak bisa berbuat apa-apa.” ujarnya sedih.
                Aku mulai kehilangan harapan. “Hanya itu caranya? Apa tak ada cara lain?”
                “Emm… Gini aja. Kalian bicarakan lagi tentang hubungan kalian. Cobalah bersikap terbuka. Siapa tau dia…”
                “Hei semua! Saking serunya ngerumpi gak ngajak-ngajak ya..” sahut Firda di depan pintu kamar Rara. Firda juga sahabatku sejak kecil.
                Firda tak tahu apa yang terjadi padaku. Ia heran melihat mataku yang sembab. Maka ia beranikan diri untuk bertanya.
                “Kenapa, Putri Salju? Ada masalah apalagi sama pangeran pujaanmu?” tanyanya mencoba melucu.
                Aku tertawa sambil memukulnya dengan bantal. “Ngaco!”
                “Biarin!” jawabnya.
                Rara hanya tertawa melihat tingkah kami berdua. “Udah, ah. Biar kuceritain semuanya.” putus Rara akhirnya.
                Rara pun menceritakan semuanya. Firda mendengarkan sambil meminum Coca Cola.

***

                “Jadi..” sambung Rara. “aku gak tau gimana caranya mecahin masalah si Putri Salju ini.” Ia mulai meledekku lagi.
                “Rara..” ujarku ngambek. Masa dari tadi aku dipanggil Putri Salju?
                Rara hanya tertawa menanggapi sikapku. “Trus gimana dong, Fir?”
                Firda berfikir sejenak. Ia bingung juga mendengar cerita Rara. Pikirannya menjadi buntu.
                “Fir…” aku mulai tak sabar.
                “Aha!” teriak Firda semangat. Membuatku dan Rara terkejut setengah mati. Serasa jantung kami mau copot.
                “Woi! Ini rumah bukan hutan! Jangan mentang-mentang tinggal di hutan bisa seenaknya aja teriak-teriak di rumah aku!” gerutu Rara.
                Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah dua sahabatku yang kocak melebihi pelawak di televisi ini.
                “Sorry, bro. Baru aja dapat ide nih.” sahut Firda sambil mengedipkan matanya padaku.
                Dan Firda pun mengagas rencana. Aku membelalak heran.
                “Gila kamu, Fir. Mana bisa aku puasa sms-an seminggu dengan Sandy. Seharian gak sms-an dengan dia aja aku demam.” ujarku tak setuju.
                “Eee… Dicoba dulu. Cuma sebentar. Ntar biar aku yang olah. Oke?” jawab Firda.
                Aku pun hanya bisa mengangguk pasrah.

***

            Esoknya aku coba melakukan apa yang dikatakan oleh Firda. Aku “puasa” sms-an dengan Sandy. Jika ia meneleponku juga tak kuangkat. Menurut analisis Firda, jika Sandy benar-benar mencintaiku, ia pasti akan berusaha mendapatkan kabar tentangku.
                Menurut laporan Rara, Sandy mulai gelisah. Sudah seminggu smsnya tak kubalas dan telepon darinya tak kuangkat. Terakhir smsnya berbunyi “Mia, kalo aku salah maafin aku ya? Cintaku saat ini hanya untukmu. Kemarin aku khilaf, Mi. Please maafin aku. Jangan diamin aku terus, dong. Kamu gak kenapa-napa kan? Kamu baik-baik saja, kan?”
                Selama liburan itu aku terus memikirkan Sandy. Entah mengapa aku merasa bahwa aku terlalu jahat padanya. Sampai menangis aku mendengar lirik lagu dari band kesayanganku, NOAH yang berjudul Separuh Aku.
                Dan terjadi lagi...
Kisah lama yang terulang kembali...
Kau terluka lagi...
Dari cinta rumit yang kau jalani...

Aku ingin kau merasa...
Kamu mengerti aku mengerti kamu...
Aku ingin kau sadari...
Cintamu bukanlah dia...

Dengar laraku....
Suara hati ini memanggil namamu....
Karena separuh aku dirimu...

Ku ada di sini...
Pahamilah kau tak pernah sendiri...
Karena aku selalu...
Di dekatmu saat engkau terjatuh...

Aku ingin kau merasa...
Kamu mengerti aku mengerti kamu...
Aku ingin kau pahami...
Cintamu bukanlah dia...

Dengar laraku...
Suara hati ini memanggil namamu...
Karena separuh aku dirimu...

Dengar laraku...
Suara hati ini memanggil namamu...
Karena separuh aku...
Menyentuh laramu...
Semua lukamu telah menjadi milikku...
Karena separuh aku dirimu...

Kebetulan sekali saat itu aku demam. Dan rupanya ia ke rumahku setelah Rara dan Firda menceritakan kondisiku saat ini. Menurut Firda, Sandy sangat terpukul saat mendengar sendiri dari mereka berdua bahwa aku sedang sakit. Jika aku demam saja ia sampai segitunya, apalagi jika aku sampai terkena penyakit DBD!
                Terdengar suara ketukan di pintu kamarku.
                “Masuk…” jawabku lemah.
                Aku mengira ibuku yang mengetuk pintu. Ternyata Sandy.
                “Mia…” sapanya sedih.
                “Sandy…” jawabku lemah.
                “Kamu masih marah, ya, sama aku? Please maafin aku, Mia…” ujarnya memohon.
Kutatap wajahnya. Rasa bersalah jelas tersirat di wajahnya. Namun aku juga bingung apa yang harus kulakukan selanjutnya.
“Sebenarnya aku gak mengharapkan Sissy kembali lagi, Mi. Dia udah pergi ninggalin kita semua. Aku juga udah mendapatkan cinta sejati dalam hidupku sekarang. Dan cinta sejatiku itu kamu, Mia. Please maafin aku. Atau kalo kamu mau, kamu boleh berbuat semaumu. Asalkan kamu senang dengan itu semua. Anggap aja itu sebagai tebusan atas kesalahanku padamu….” ujarnya.
Aku semakin tidak tega melihatnya. Malah aku yang merasa bersalah sekarang.
“Gak usah aja. Gak perlu pake tebusan. Aku udah maafin kamu, kok. Asalkan kamu berani berjanji takkan pernah menduakan cintaku lagi.” jawabku pelan.
Wajahnya menjadi cerah. “Iya, aku janji takkan melakukan hal seperti itu lagi. Thanks udah mau maafin aku, ya, sayang…”
“Iya, sayang. Maaf juga ya aku gak balas sms kamu. Aku lemes banget. Apalagi nomor hpku habis pulsa.” sahutku merasa bersalah.
Senyuman manis di wajah Sandy kembali hadir.
Aku beranjak dari tempat tidur dan duduk di sampingnya.
“Aku janji gak bakalan gitu lagi. Demi cintaku padamu, Mia Agustina…” ujarnya seraya menyebut namaku.
Aku terharu. Ia mulai memelukku erat. Sementara itu Firda dan Rara mengintip dari balik pintu dan mengacungkan dua ibu jari mereka padaku. Aku tersenyum bahagia dan mengacungkan dua ibu jariku juga.

***

Sejak saat itu, hampir tak ada lagi pertengkaran antara kami berdua. Melihat sikapnya padaku sekarang, aku sudah bisa membuktikan bahwa aku bukanlah pelarian cintanya…