mengubah kursor tapi tidak mengubah kursor ketika menyorot link

Jumat, 18 Juli 2014

Mutiara Bir Zeit by Dian Yasmina Fajri (Cerpen)



Malam yang dingin ditingkahi angin gurun yang menderu dari arah Beit El. Di pinggir Desa Bir Zeit berbatasan dengan Beit El, di sebuah rumah kecil yang sebagian temboknya runtuh, nampak lampu minyak yang berkedip-kedip menerangi ruangan tempat dua orang tengah bermunajat dengan khusyuk.
Ketegaran nampak jelas di garis-garis wajah Jiddah Khadijah, nenek berusia lewat enam puluhan. Jari-jarinya bergetar menengadah ke langit. Aliran bening bercucuran dari kedua matanya. Di sampingnya cucu perempuannya ikut terpekur dalam doa yang panjang. Lintasan-lintasan peristiwa duka berkelebat silih berganti.
Suatu pagi yang cerah di perkebunan anggur di Bethlehem, penuh ceria para pegawai perkebunan memanen anggur-anggur yang ranum. Namun, tiba-tiba puluhan truk serdadu Israel memasuki perkebunan dan berteriak-teriak menyuruh mereka pergi.
"Hei, Biadab-biadab, pergi dari tanah ini! Pemerintah Israel memutuskan tempat ini dijadikan perluasan ruang hijau... green oasis!" teriak salah seorang serdadu.
Dengan kasar ia memukuli pegawai-pegawai perkebunan yang terlolong kaget karena kedatangan mereka yang tiba-tiba.
"Palestinian Desert ini akan dijadikan ruang hijau. Hei, orang-orang dungu! Kenapa tak segera pergi dari sini?"
"Kenapa kalian tak pergi ke gurun kalau benar ingin memperluas ruang hijau?" teriak mandor perkebunan.
"Ya, benar. Tempat ini sudah hijau, bukan gurun lagi!" sambung seorang pegawai lain.
"Siapa yang menyuruh kalian menjawab, heh?" Serdadu Israel murka.
Plak...plak...plak...!
Laras senjata langsung menghantam kepala.
Dor...dor...dor...!
Dengan membabi buta tentara-tentara sinting itu menghamburkan pelurunya. Orang-orang di perkebunan segera menyingkir ke balik-balik tembok.
Mendengar ribut-ribut itu, Sayyid Ibrahim keluar dari ruang kerjanya. Tergopoh ia segera mendekati keributan ketika dari jauh dilihatnya beberapa pegawainya bergelimpangan di tanah.
"Cepat pergi dari sini, setan-setan jahanam!" teriak serdadu gila itu sambil membabati pohon-pohon anggur.
"Hei... hei, apa yang kalian lakukan di kebunku? Mana surat izin kalian untuk melakukan perusakan ini?" Sayyid Ibrahim berteriak sambil tergopoh menghampiri.
Seorang serdadu segera mencengkeram leher kemejanya seraya berucap, "Kami tak perlu izin untuk mengambil apa saja milik kalian! Tuhan sudah merelakan kami untuk melakukan apa saja terhadap kalian. Dia menciptakan kalian untuk melayani kami. Paham, hei lelaki jelek!"
"Biadab, lepaskan suamiku!" Tiba-tiba Khadijah berlari dari arah dapur. Saat itu ia tengah mengontrol para koki yang sedang mempersiapkan makan siang untuk para pegawainya.
"Jadi ini suamimu?" Serdadu-serdadu itu tertawa mengejek. "Lihat apa yang kami lakukan terhadap suamimu yang jelek ini!"
Bak...buk...bak...buk...!
Mereka memukuli perut Sayyid Ibrahim.
"Agh...agh, hentikan...agh!" Sayyid Ibrahim tersengal menahan sakit.
Beberapa pegawainya berusaha menolong, tapi tendangan para tentara itu segera mendarat di perut-perut mereka.
"Hentikan, hentikan! Hasan, Shofwan, bantu tuan kalian!"
Khadijah memanggil beberapa pegawainya. Tapi baru saja mereka hendak bergerak menolong, peluru-peluru sudah menghampiri hingga membuat mereka roboh berlumuran darah.
"Muhammad, Masya Allah di mana kalian? Cepat tolong...tolong!" Tubuh tua Sayyid ringsek diinjak-injak sepatu lars serdadu yang menggila.
"Kau lihat, nenek tua. Ini hadiah bagi yang berani melawan!"
Dor...dor...dor...!
Rentetan peluru menghabisi nyawa Sayyid Ibrahim.
"La haula wala quwwata illa billah!" Sayyid masih bisa memekik. Khadijah melolong histeris sambil berusaha memukul serdadu-serdadu itu, tapi beberapa orang pegawainya segera menahannya.
"Sudah, Sayyidah. Cepat kita pergi dari sini!" kata mereka sambil menyeret Khadijah.
"Kami beri waktu satu jam untuk meninggalkan tempat ini!" teriak komandan serdadu laknatullah itu.
Tangis Khadijah pecah, "Mereka membunuh suamiku...mereka membunuh suamiku hu...hu...hu...!"
"Sudahlah, Sayyidah. Cepat pergi dan bergegas sebelum mereka merampas harta kita yang lain!"
Benar saja, beberapa menit kemudian mereka menjarah apa saja barang berharga yang dapat mereka bawa. Emas, uang, barang-barang elektronik. Sementara sebagian serdadu lain sibuk mengumpulkan para wanita muda.
"Ambil yang cantik-cantik saja. Yang buruk-buruk kita ceburkan ke Laut Mati! Hahaha...!"
Teriak histeris bergema dari mulut wanita-wanita perkebunan.
"Jangan sentuh kamarku untuk maksiat!"
Khadijah berteriak tersengat. Namun, rentetan peluru menjawabnya. Beruntung ia masih bisa berkelit ke kamar lain. Lolongan para perempuan yang tak rela kehormatannya direnggut memilukan siapa pun yang masih punya hati nurani. Akan tetapi, orang-orang Yahudi itu malah semakin beringas dan tertawa kegirangan.
Hanya berbekal baju di badan dan beberapa perhiasan yang melekat di lengannya Khadijah meninggalkan semuanya, harta benda dan perkebunan warisan orang tuanya yang telah dirawatnya dengan susah payah. Kini karena rumahnya telah hancur, rata dengan tanah, ia terpaksa tinggal di jalan. Menderita setelah sekian lama hidup dalam kemakmuran. Beruntung masih ada bekas pegawainya yang memberinya tumpangan hidup.
Beberapa saat kemudian datang kabar dari anaknya yang tinggal di Bir Zeit bersama suaminya. Mereka mengajaknya tinggal bersama. Khadijah sangat bersyukur. Ketika ia berangkat dengan utusan anaknya yang ditugasi mengawalnya pergi ke Bir Zeit, terlihat di hampir sepanjang perjalanan tentara Israel tengah membangun pemukiman baru bagi warga Yahudi. Dengan helikopter mereka membawa rumah-rumah yang siap pasang seperti halnya permainan lego, dan dalam hitungan hari saja sudah ratusan rumah berdiri. Kenangan lama pun terbayang dan kebencian terhadap Yahudi semakin menjadi-jadi dalam hati Khadijah.
Seminggu setelah ia bergabung dengan anak-menantunya, musibah menimpa lagi. Tentara Israel mengadakan penggeledahan ke rumah-rumah penduduk untuk menyisir para teroris. Menantu lelakinya yang ketahuan aktif di pergerakan ditembak mati di tempat, sedang anak perempuannya diperkosa di depan cucunya, Durah, yang berusia enam tahun. Sedapat mungkin ia menyembunyikan kepala Durah agar tak menyaksikan kebiadaban itu. Namun, lolongan kepedihan ibunya saat dianiaya dan dibunuh Yahudi telah membuat Durah stres hingga beberapa tahun kemudian.
Sejak saat itu, Khadijah tinggal berdua saja dengan Durah dari satu penampungan ke penampungan lain hingga mereka terdampat di reruntuhan rumah di tepi perkampungan Bir Zeit itu. Sekuat tenaga Khadijah mendidik Durah agar tegar dan tumbuh jadi pribadi yang berakhlak karimah.
***
"Kholi Jabir tadi siang mengabarkan bahwa aku sudah lolos seleksi, Jiddah!" ucap Durah pelan ketika mereka usai bertahajud.
Jiddah Khadijah yang tengah merapikan karpet sajadahnya kaget. "Benarkah? Subhanallah walhamdulillah!"
Serta merta ia memeluk cucunya. Debaran rasa bahagia, takut kehilangan, dan bangga berbaur di hatinya. Kebahagiannya kini lebih dari ketika mendengar kabar Durah diterima di Universitas Bir Zeit dengan ranking pertama. Ini sebuah anugerah besar bagi Durah mengingat begitu sibuknya Durah membantunya menyapu jalan-jalan di perumahan Yahudi atau menjadi buruh pemetik buat di ladang-ladang milik Yahudi. Ternyata cucunya masih lebih membanggakan dari itu semua. Ini sebuah anugerah besar.
"Kita memang selama ini mencari makan dengan menjadi budak musuh sendiri," begitu yang sering Durah ucapkan ketika keletihan sehabis bekerja.
***
Khadijah yakin cucunya pasti bisa mengemban tugas itu. Ia ingat betapa saat itu ia berusaha meyakinkan komandan Brigade Al Aqsa bahwa walaupun belum genap tujuh belas tahun kecerdasan dan keterampilan Durah lebih dari rekan sebayanya. Khadijah juga berusaha meyakinkan Jabir, keponakannya yang aktif di Hamas, untuk merekomendasikan cucunya bagi perjuangan Palestina.
"Tidak berlaku rekomendasi, wahai Khallah Khadijah. Semuanya harus melewati seleksi yang ketat!" jelas Jabir pada bibinya waktu itu.
"Tapi sudah sejak usia sembilan tahun ia bercita-cita syahid! Itu yang ia dengungkan setiap hari," kilah Khadijah.
"Alhamdulillah, banyak yang bercita-cita mulia seperti itu. Dari Bethlehem saja ada dua ratus perempuan yang siap syahid, belum lagi dari Jenin, Ramallah, dan Gaza!" ujar Jabir.
"Kalau begitu biarlah aku ikut seleksi Kholi Jabir!" tiba-tiba Durah ikut bersuara. Rupanya ia ikut mendengar percakapan itu.
"Hanya dibutuhkan orang yang tahan banting dan tahan stres seperti tentara, wahai Durah!"
"Akulah orangnya, Paman. Insya Allah!"
"Tapi nanti siapa yang akan merawat nenekmu?"
"Jangan pikirkan aku!" kilah Khadijah. "Kau tahu, ya Ibnul Akhi, aku sudah kenyang menderita. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Saat ini pun sebenarnya aku ingin bersama cucuku menyongsong syahid!"
"Baiklah, nanti paman akan hubungkan kau dengan unit seleksi kandidat syahid," ujar Jabir pada Durah.
Senyum merekah di wajah Durah si mutiara besar. Wajah yang selama bertahun-tahun selalu serius itu nampak bahagia.
Beruntunglah Durah memiliki dasar-dasar Islam yang kuat hasil didikan neneknya hingga ia bisa lolos seleksi awal. Ada juga orang yang mengamati bagaimana akhlak dan penghayatannya dalam menjalankan syariat Islam sehari-hari dan Durah sangat memuaskan dalam hal tersebut. Selain itu, ia juga melewati seleksi penyamaran, yaitu dengan mendatangi pesta-pesta Yahudi untuk dilihat bagaimana keluwesannya dalam bergaul hingga bisa masuk ke dalam lingkungan Yahudi.
"Jiddah, hari-hari ke depan aku mungkin tak bisa membantumu mengumpulkan sampah-sampah di jalan!" ujar Durah suatu hari.
"Mengapa?"
"Divisi Seleksi Akhir memintaku untuk ikut mendalami agama dan lebih memahami apa arti kesyahidan lewat diskusi-diskusi!"
"Pergilah, Nak. Kau tahu Nenek selalu mendukungmu untuk hidup mulia atau meraih kesyahidan!"
Akhirnya Durah pergi ke tempat yang telah ditentukan. Suatu tempat rahasia yang tak diketahui tentara Yahudi dan mata-matanya. Durah memasuki ruangan yang hanya diterangi lampu minyak dan ia melihat semua anggota Brigade Al Aqsa nampak menyandang senapan kalashnikov.
Di ruangan yang temaram itu sudah hadir beberapa akhwat lain. Mereka tengah menyimak video para syuhada yang telah mendahului mereka.
"Mari kita analisa kelemahan dan kelebihan serangan para syahid ini!" Abu Zam-Zam yang memimpin Divisi Seleksi Akhir memandu diskusi. Ungkapan-ungkapan cerdas keluar dari para perempuan pemberani itu.
"Abu Zam-Zam, bila melihat rekaman video-video ini nampak keberanianlah yang paling dibutuhkan. Lalu mengapa di awal seleksi akhlak juga menentukan kelulusan kami?" Durah bertanya.
"Wahai, Anakku. Bila kita ingin menang dalam berjuang, keimanan harus digembleng sedangkan akhlak adalah buahnya iman. Sebaik-baik orang beriman adalah yang paling baik akhlaknya. Inilah yang mengantarkan kita pada kesuksesan perjuangan."
"Mengapa kita hanya berjuang sendiri, ya Abu Zam-Zam?"
"Tidak, Durah. Jutaan muslimin dari Yordan hingga Indonesia dan bahkan dari seluruh dunia membantu kita lewat doa, dana, dan demo-demo di panas terik. Bahkan bayi dan balita mereka pun ikut berdemo. Satu kilo TNT seharga seratus dolar atau sebuah kalashnikov seharga dua ribu dolar adalah di dalamnya saham mereka untuk membantu kita."
"Mengapa kita belum juga bisa menyelamatkan Palestina, ya Abu Zam-Zam?" seorang akhwat lain bertanya.
"Menyelang Perang Yarmurk Abu Bakar berpesan pada Khalid bin Walid, 'Perangilah musuhmu sepadan dengan penyerangan mereka kepadamu. Pedang dengan pedang, tombak dengan tombak.'" Abu Zam-Zam memulai penjelasannya.
"Tokoh Yahudi Ben Gurion mengatakan, 'Tiap orang Yahudi wajib hijrah ke Israel. Orang Yahudi yang tinggal di luar Israel dianggap menyimpang dari Taurat dan bukan pengikut Yudaisme!'"
"Tank-tank pertama Israel ketika menguasai Semenanjung Sinai ditempeli ayat-ayat Taurat. Ketika mereka menguasai Yerusalem mereka berteriak, 'Hidup Taurat!' Lalu mereka menuju Dinding Ratapan dan membangun kuil Sulaiman. Bila Israel saja menyerang kita atas nama Yahwe, Tuhan orang Yahudi, kita pun berjuang harus atas nama Allah. Motivasi Israel adalah Yudaisme maka motivasi kita haruslah Islam!" Abu Zam-Zam diam sejenak agar pendengarnya meresapi kata-katanya.
"Apakah kalian melihat semangat Islam itu ada pada sebagian orang yang mengaku pejuang Palestina?" tanyanya penuh tekanan.
Anak-anak muda itu terdiam. Terlintas dalam benak mereka slogan-slogan Nasionalisme, Arabisme, dan isme lain mengitari perjuangan merebut Palestina.
"Apakah pesan Abu Bakar untuk sepadan dalam menghadapi musuh ada pada pejuang Palestina?" tandas Abu Zam-Zam lagi. "Kalau mereka menyerang dengan Taurat, kita harus menyerang dengan Al-Qur'an. Kalau mereka menyerang dengan mengibarkan panji-panji Nabi Musa, kita mengibarkan Panji Musa, Isa, dan Muhammad! Kalau mereka menyerang karena membela Haikal Sulaiman, kita berjuang untuk membebaskan Al Aqsa!"
"Allahu Akbar...!" pekik semangat menggelora.
"Tapi, Abu, senjata mereka super canggih!" sela Durah lagi.
"Durah, ketika pasukan muslimin berhadapan dengan Romawi ataupun Persia, persenjataan kita pun tak kalah kunonya. Bukankah mereka berjuang mencari mati syahid sedang lawan mereka berperang mencari hidup? Itulah teror yang ditakuti lawan!" Penuh tekanan Abu Zam-Zam mengatur kata-katanya.
"Maka ingat, kalau Yahudi berteriak pada pasukannya, 'Kalian bangsa pilihan,' teriakkan pula pada pasukan kita, 'Kuntum khaira ummah ukhrijat linnas'"!
"La haula wala quwwata illa billah!" ucap para akhwat itu.
***
Khadijah mengusap air mata bahagia.
"Besok sore aku akan melakukan misi itu. Nenek bisa menjaga rahasia, kan?"
"Kau tahu siapa aku, Cucuku!"
"Setelah kita sahur, aku akan melanjutkan munajat dan mengkhatam Al-Qur'an," ujar Durah riang.
Pada waktu sahur. Baru saja mereka menggigit roti gandum bekas makan semalam, pintu depan digedor dengan ribut. Tak pelak lagi, itu gaya serdadu Israel.
"Teroris-teroris itu pasti bersembunyi di sini. Ayo buka pintu!"
Brak...brak...brak...!
Pintu dijebol.
"Cepat selamatkan dirimu, Durah. Misi muliamu tak boleh terhalang para laknatullah itu!"
Tak membuang waktu, diciumnya tangan neneknya. Tanpa sempat lagi mengucapkan kata perpisahan, ia segera melesat ke jalan-jalan rahasia menuju ke suatu tempat yang tak seorang pun tahu.
Serdadu Israel berhasil mendobrak pintu. Nenek Khadijah berkacak pinggang di depan mereka.
"Mau apa kalian? Tengah malam mendobrak rumah. Tak tahu sopan santun!"
"Diam! Di mana kau sembunyikan teroris itu?"
"Teroris apa? Aku hanya tinggal sendiri!" jawab nenek Khadijah lantang.
Serdadu Israel itu mendorongnya hingga terjungkal. Mereka menggeledah seluruh ruangan hingga ke loteng. Mereka mengambil uang yang mereka temukan dan membuat rumah porak-poranda. Ketika sasaran yang mereka cari tak ketemu, mereka pun meninggalkan tempat itu.
Nenek Khadijah terus saja berdoa untu keselamatan cucunya. Jangan sampai cucu tercintanya tertangkap serdadu Israel.
***
Detik demi detik berjalan lambat. Berkali-kali Nenek Khadijah melihat ke arah jam dinding. Ia pun bolak-balik dari tempatnya bekerja di perkebunan ke sebuah rumah tetangganya yang punya televisi.
"Jiddah Khadijah, ada telepon untukmu!" Pemilik rumah berteriak memanggilnya.
Dengan gugup Nenek Khadijah memegang gagang telepon. Dari seberang terdengar suara Durah lewat telepon genggam.
"Nek, aku ada di Yerusalem, dekat David's Tower. Kami berputar-putar dari jalan Mamilla hingga ke Jaffa Gates. Aku tengah menanti instruksi sasaran, lima belas menit lagi. Doakan aku. Selamat tinggal, Jiddah sayang!" Terdengar suara Durah agak bergetar ketika mengucapkan kata berpisah.
Gelombang perasaan melanda hati nenek tua itu, antara takut, harap, dan bahagia. Ia pun kemudian terpekur di depan televisi menunggu berita.
Berkilo-kilo meter dari Bir Zeit, tak kalah hati Durah gundah. Sepuluh kilo TNT dan lima kilo paku baja siap di rompinya. Ia tak ingin ribuan dolar ini sia-sia.
Sejam kemudian penyiar televisi memberitakan. Seorang remaja putri tujuh belas tahun meledakkan dirinya di pusat pertokoan Jerusalem. Dari televisi, Nenek Khadijah melihat cabikan-cabikan daging dan carikan pakaian yang biasa dipakai cucunya. Diberitakan tiga puluh orang Israel tewas dan seratus orang lainnya luka-luka. Di layar kaca terlihat darah menggenang ke jalan-jalan hingga mengotori dinding.
"Subhanallah...! Subhanallah...! Walhamdulillah!" Ia berteriak-teriak hingga membuat para tetangga berdatangan. "Mahasuci Allah yang telah menakdirkan cucuku menjadi syahidah!"
Dengan cucuran air mata gembira ia kembali ke rumah diiringi ucapan selamat para tetangganya. Ia pun mengundang para tetangganya berpesta.
Di tengah hiruk pikuk bahagia itu, dari ujung gang-gang desa, laras senjata serdadu Israel siap meledak.
Dan perjuangan masih berlanjut.
***
Jatiwarna, 15 Mei 2002.

Daftar Istilah:
- Sayyid(ah) : Tuan/Nyonya
- Khallah : bibi
- Kholi : paman
- Jiddah : nenek
- Ibnul Akhi : keponakan
- Kuntum khairah ummah ukhrijat linnas : kalian umat terbaik yang pernah diturunkan Allah untuk manusia.

Tidak ada komentar: